Ini Sosok Kartini Modern
Awal 1990-an, seorang wanita pejabat di lingkungan Pemda DKI galau. Rencana mendirikan laboratorium doping ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
Dari ratusan peserta tes, hanya dua yang lulus. Sementara lainnya dianggap kurang kompeten.
Tes yang digelar atas kerja sama pemerintah Indonesia dan lembaga asing itu memang tidak main-main. Standar yang dipakai adalah emas (gold standard). Sedikit saja ada celah, peserta tes langsung dinyatakan gagal.
"Saya tanya kepada tim penguji mengapa banyak peserta tes yang tidak lulus? Padahal, banyak di antara mereka yang bergelar S3, bahkan dari universitas asing," kenang Pendiri sekaligus Direktur Sekolah Alfalah, Ciracas, Jaktim, drg. Wismiarti Tamin (Bu Wismi).
FYI, saat itu, Bu Wismi adalah kepala laboratorium Pemda DKI Jakarta. Cita-cita mendirikan laboratorium doping diharapkan mampu mendongkrak prestasi olahraga nasional.
"Saya benar-benar bingung mengapa sulit sekali mencari staf lab doping yang berkompeten. Ternyata, menurut tim penguji, kebanyakan peserta tes karakternya tidak istiqomah," kata Bu Wismi.
Staf lab doping harus memiliki integritas sangat tinggi. Maklum, mereka "memegang nasib" olahragawan. Salah memutuskan hasil lab, reputasi dan masa depan atlet bisa hancur.
"Ketua tim penguji mengatakan karakter positif yang kuat bisa terwujud jika pendidikan usia dini dijalankan dengan benar. Tanpa itu, manusia yang dihasilkan tidak akan cerdas secara utuh," tutur Bu Wismi.
Jawaban tim penguji membuat Bu Wismi gusar. Sejak itu, setiap ada penugasan ke luar negeri, Bu Wismi menyempatkan diri mengintip sistem pendidikan usia dini. Beliau pernah menyambangi sejumlah sekolah di Australia, Eropa, dan Amerika.
"Pendidikan usia dini di negara maju sangat bermutu. Bahkan, beberapa gurunya bertitel S3. Mereka terus mengembangkan sistem pendidikan untuk menghasilkan manusia dengan kualitas prima," papar Bu Wismi.
Dari hanya sekadar observasi, Bu Wismi terpanggil mendalami ilmu pendidikan. Tidak tanggung-tanggung, beliau nekat melepas jabatannya di Pemda DKI tanpa pesangon sepeserpun. Padahal, masa kerja beliau hampir 30 tahunan.
Dibantu konsultan asing, Bu Wismi melangkahkan kaki menekuni ilmu pendidikan di luar negeri. Salah satu tempat belajar Bu Wismi adalah Creative Pre-School di Florida, Amerika Serikat.
Beliau menimba ilmu dari Pamela C Phelps yang sukses mengembangkan sistem pendidikan berbasis sentra. Sistem ini banyak digunakan di sekolah usia dini di Negeri Paman Sam.
Setelah beberapa bulan belajar, Bu Wismi memutuskan mendirikan sekolah TK di Ciracas. Tekat beliau membangun bangsa melalui pendidikan sudah bulat.
Namun demikian, tidak mudah bagi Bu Wismi mendirikan sekolah dengan standar emas. Selain masalah sumber daya manusia (SDM), biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Bersyukur beberapa sahabat berada di belakang perjuangan beliau. Sekolah Alfalah, Ciracas akhirnya berdiri pada 1996.
Yang menarik, ketika itu, muridnya hanya empat orang. Itupun dari kalangan keluarga sendiri. Masyarakat umum masih enggan mendaftar di sekolah yang belum terbukti keunggulannya.
"Banyak yang belum tahu sistem pendidikan berbasis sentra. Jadi, kami harus sabar dalam memulai proses belajar mengajar," kata Bu Wismi.
Meski hanya empat murid, Bu Wismi tak pernah patah arang. Dibantu beberapa guru, beliau terus berjuang mewujudkan asa. Beliau bahkan rela merogoh kocek sendiri demi meng-hire konsultan dari Florida.
"Ilmu terus berkembang, jadi kami harus banyak belajar. Setahun kami didampingi konsultan dari Amerika. Alhamdulillah, meski baru 50%, Sekolah Alfalah sudah bisa menerapkan metode sentra," ungkap Bu Wismi.
Di luar dugaan, pada 1998 badai besar menghantam Indonesia. Krisis ekonomi menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa, tak terkecuali sektor pendidikan swasta. Imbas situasi ini sangat dirasakan oleh Bu Wismi dkk. Biaya mendirikan sekolah membengkak hingga tiga kali lipat.
Kondisi ini memaksa Bu Wismi melepas hampir semua asetnya, termasuk rumah satu-satunya. Bersyukur masih ada teman yang mau membantu perjuangan Bu Wismi. Perlahan namun pasti, Sekolah Alfalah berhasil bangkit.
"Semua atas izin Allah. Hanya Dia yang menggenggam kehidupan. Kita manusia bukanlah siapa-siapa," tutur Bu Wismi.
Seiring berjalannya waktu, Sekolah Alfalah mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Sistem pendidikan yang dikembangkan diterima banyak pihak, terutama kalangan menengah atas.
Kini, Sekolah Alfalah tidak hanya TK, tapi meliputi Baby House, Toddler, SD, SMP, dan SMA. Bu Wismi berharap suatu saat bisa mendirikan kampus jika memang diperlukan.
Yang menarik, Sekolah Alfalah tidak pernah membuat iklan penerimaan murid. Jangankan spanduk, brosur sederhana saja tidak ada. Bu Wismi ingin Sekolah Alfalah dikenal masyarakat bukan karena iklan, tapi kualitas pendidikannya.
Sekolah Alfalah sendiri tahun ini rencananya pindah gedung. Sebelumnya, Sekolah Alfalah menyewa lahan milik Yayasan Gunadharma. Lokasi gedung baru tidak jauh dari gedung yang sekarang.
"Semoga sekolah itu bisa menjadi tempat bernaung dan belajar bagi anak-anak Indonesia. Bahagia sekali jika mereka tumbuh menjadi khalifah-khalifah yang baik di dunia," kata Bu Wismi.
Meski sudah terkenal, Bu Wismi menolak membuka cabang (franchise) Sekolah Alfalah. Padahal, banyak sekali pihak yang mengajak Bu Wismi membuka Alfalah lain di sejumlah pelosok di Indonesia.
Menurut Bu Wismi, sekolah bukanlah ajang untuk berbisnis. Sekolah harus tetap sebagai tempat belajar dan mengajar. Jika tujuan suci ini bergeser, dengan sendirinya manusia yang dihasilkan tidak akan berkualitas.
Beliau juga mengklaim setiap anak dilahirkan unik. Mereka memiliki talenta yang berbeda-beda. Alhasil, sistem pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak.
"Anak yang hidup di pantai berbeda kebutuhannya dengan mereka yang hidup di pegunungan. Anak di kota berbeda kebutuhannya dengan anak di desa. Pendidikan yang baik harus dikelola sesuai kebutuhan anak, tidak disamaratakan," ujar Bu Wismi.
Meski tidak akan membuka cabang, Bu Wismi selalu siap berbagi ilmu. Beliau berharap semakin banyak pihak yang berjuang membangun bangsa melalui metode sentra.
Bagi Anda yang tertarik mendalami sistem pendidikan di Sekolah Alfalah bisa mengikuti Pelatihan Pendidikan Orang Tua (PPOT). Anda juga bisa melakukan observasi di sekolah yang beralamat di Jl. Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jaktim itu.
Apakah Bu Wismi tidak rugi jika lebih sering berbagi ketimbang mendulang keuntungan pribadi?
Dengan lembut beliau menggelengkan kepala sembari menjawab, "Allah Maha Kaya."
Hmmm, sungguh mulia perjuangan Bu Wismi. Di mata saya, beliau laik mendapat gelar Kartini modern, meski saya yakin beliau sendiri tidak akan mau menyandangnya.
Jangankan dipuji, difoto saja beliau merasa kurang nyaman. Bagi beliau, berkarya lebih bermanfaat ketimbang mengumbar foto.
Selamat berjuang Bu Wismi. Semoga lahir Kartini-Kartini baru yang jauh lebih bermanfaat. Aamiiin
0 Response to "Ini Sosok Kartini Modern"
Post a Comment