Coretan ini kurang cocok dibaca Anda yang super sibuk. Apalagi, jika
Anda tidak suka guyon (joke). Bila nekat baca, efek samping ditanggung
penumpang (kayak minum obat qiqiqi...
------------
Banyak yang bilang, masa depan penuh dengan misteri. Saat kecil ingin jadi pilot, eh besarnya jadi Gojek. Waktu SD mimpi jadi dokter, eh besarnya jadi salesman.
Ada yang lebih tragis. Kecil gak punya cita-cita, eh besarnya jadi preman TK ngebet jadi artis, eh malah jadi pengamen jalanan.
Ya, begitulah kehidupan. Kadang kala tak seindah cita-cita. Tapi, ada juga yang lebih indah dari mimpi. Berhayal jadi tukang kayu, eh malah jadi presiden (dilarang sebut nama).
Saya yakin, banyak dari kita yang masa kini melenceng jauh dari cita-cita masa lalu. Saya sendiri sempat ingin jadi artis. Tapi apa lacur, malah pernah jadi pengamen. Sempat bercita-cita jadi pilot F-16, eh malah kesasar jadi pasukan kuning (tukang gerobak sampah). Pernah mimpi jadi punggawa timnas, eh malah jadi pedagang es legen.
Yang tak kalah "nyesek", kuliah ambil jurusan Teknik Industri, eh setelah lulus jadi wartawan. Harusnya saya kerja di pabrik atau manufaktur, tapi malah kelayapan cari berita.
"Sarjana teknik kok jadi wartawan? Dulunya hobi baca-tulis ya?" demikian seloroh sejumlah kerabat dan sahabat.
Tidak. Saya tidak pernah mimpi jadi wartawan. Bahkan, sama sekali tidak terlintas di angan-angan. Yang terjadi hanyalah garis kehidupan.
Waktu butuh uang untuk skripsi, pas ada yang nawari magang jadi
wartawan. Ya sudah, ambil saja. Meski gaji kecil, tapi peluang maju
cukup besar. Rencananya, habis wisuda langsung banting setir jadi
"buruh" pabrik. Ealah, waktu berlalu, keterusan jadi wartawan.
Apakah hobi baca-tulis? Hmmm, tidak juga. Sejak kecil saya tidak suka baca, apalagi menulis. Saya lebih senang menggambar dan bermain bola. Meski skill pas-pasan, tapi saya suka dua aktivitas itu.
-------------------
Saat usia masuk kepala tiga, saya tetap saja jadi wartawan. Kenyataan
ini sempat membuat saya "kurang nyaman". Jujur, wartawan bukanlah
profesi yang saya mau. Sampai suatu ketika, saya merasa tidak punya
"pilihan lain".
"Usia sudah banyak. Harus menentukan jalan hidup. Skill yang sudah mapan adalah menulis. Ya sudah, jadi penulis saja. Toh, banyak hal positif dari menulis," demikian kata hati saya.
Sejak itu, pembulatan tekad sedikit demi sedikit mulai mengkristal. Sarat jadi penulis satu per satu coba dipenuhi. Mulai dari rutin baca, suka riset, hingga terus menulis.
Alhamdulillah, awal 2014, saya berhenti jadi wartawan. Saya balik kanan jadi marketer di sebuah travel agent. Dari sini, saya lanjut belajar bisnis kecil-kecilan (malah gak nyambung ceritanya qiqiqi...
Ya, demikianlah jalan hidup. Sering kali melenceng dari cita-cita. Sekarang, saya keblusuk jadi "wartawan" Faceboook. Semoga ada pelajaran yang bisa Anda ambil. Setidaknya dari "kegagalan" saya menyapa masa depan he he he
Salam literasi Indonesia
0 Response to "Ketika Menulis Adalah Keterpaksaan"
Post a Comment