"Cak Gem mendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)?"
Hus, ngawur ae. Ora. Sama seperti kaum muslimin lainnya, saya sama sekali tidak mendukung LGBT. Coretan ini hanya berfokus pada bagaimana LGBT berhasil menongolkan diri di alam nyata maupun ghaib (maya).
Sebagai mantan wartawan yang 15 tahun mengabdi di media massa, ada satu hal penting yang saya pelajari. Yup, hal itu adalah KOMUNIKASI.
Bagi sebagian orang, komunikasi tak lebih dari sekadar menyampaikan informasi kepada orang lain. Si A ngomong sama si B, atau si D ngomong sama si E.
Sepanjang yang saya tahu, komunikasi tidak sekadar aktivitas omong-omongan. Di dunia media, pemilihan kata, kalimat, paragraf, foto, ilustrasi, warna, font, grafik, video, timing, dan nara sumber, semua ada maksud dan tujuannya.
Wartawan tidak boleh sembarangan menulis atau mengambil video. Ada aturan ketat yang harus ditaati. Bagi wartawan yang membangkang, bisa "dikotak" atau bahkan dikeluarkan dari institusi.
Misal, saya bekerja di media yang pemiliknya adalah ketua umum partai politik. Suka atau tidak, saya dilarang menurunkan berita yang menyudutkan partai bos saya, meski partai bos saya jelas-jelas bersalah.
Jadi, jangan heran kalau di sebuah media wartawannya kompak menyerang pihak lain, tapi giliran internal atau kroninya bermasalah, tak satupun ada berita yang mengangkat hal itu.
Bagi orang awam, kaidah ini kadang kurang dipahami. Apalagi, bagi mereka yang tidak kritis atau malas baca. Tapi, bagi kami-kami yang pernah bekerja di media, hal seperti itu adalah makanan sehari-hari.
Singkat kata, setiap kata, kalimat, paragraf, ilustrasi, warna, font, grafik, video, timing, dan narasumber bukan muncul secara tiba-tiba, tapi melalui proses panjang yang terkadang melelahkan.
FYI, di media, struktur yang dipakai biasanya seperti ini:
- Wartawan
- Redaktur
- Redaktur pelaksana
- Pemimpin redaksi
- Pemilik media
Wartawan bertugas "mencari" berita di lapangan. Setelah dapat, berita ditulis sesuai kaidah jurnalistik. Setelah itu, berita dikirim ke redaktur untuk diedit.
Proses editing tak hanya meliputi bahasa, tapi juga hal lain, termasuk disesuaikan dengan "kepentingan" media. Jika ternyata berita itu bertentangan dengan "misi agung" perusahaan, berita itu akan diedit atau ditolak.
Asal tahu saja, tidak semua wartawan, terutama yang junior, memahami "misi agung" perusahaan. Dalam tataran tertentu, hanya pemilik dan pemimpin redaksi yang memahami grand design sebuah media.
-----------
Kembali ke LGBT. Mayoritas kita tahu, dunia belum lama ini diguncang berita sensasional tentang bolehnya menikah sesama jenis di Amerika Serikat.
Yang menarik, banyak pihak, termasuk public figure yang terang-terangan mendukung hal itu. Bos Facebook sendiri bahkan membuat status khusus mendukung LGBT.
Di dalam negeri, sejumlah artis juga meneriakkan dukungannya kepada LGBT. Bahkan, di antara mereka ada yang berharap semua negara kelak membolehkan pernikahan sesama jenis (na'udzubillahi min dzalik).
Dari sudut pandang komunikasi, apa yang dilakukan para pendukung LGBT laik "diacungi jempol". Mereka "berhasil" memperjuangkan opini hingga melegalkan pernikahan sesama jenis, setidaknya di Negeri Paman Sam.
Suka tidak suka, senang tidak senang, inilah faktanya. Dunia dipaksa "menerima" kenyataan bahwa tanah Amerika mendukung pernikahan sesama jenis.
Coba amati bagaimana hebatnya viral opini LGBT! Konten yang tersaji demikian indah, manis, intelek, dan menghanyutkan. Saking indahnya, hal yang hina bisa terlihat keren.
Pertanyaan untuk kaum muslimin.
Jika kaum LGBT "sukses" melegalkan perkawinan sesama jenis, mengapa umat Islam kesulitan membumikan poligami, jihad, faroid, dan hukum had? Padahal, dalil-dalil ajaran itu sangat jelas tertuang di Alquran dan Alhadist.
Kembali pada tema awal, salah satu kendalanya adalah minimnya penguasaan sebagian kaum muslimin terhadap komunikasi dan media.
- Di ranah umat, banyak orang Islam yang gagal menyaring bacaan dan tontonan yang sejatinya bertentangan dengan agama. Tidak terasa, setapak demi setapak, kaum muslimin menjauhi agamanya.
"Bagaimana bisa menyaring, wong ilmu Islam jarang dipelajari? Faktanya, banyak orang Islam yang tidak bisa baca Kitab Suci."
Hmmm, inilah tantangannya. Sebagian umat Islam lebih asyik menghabiskan waktu mencari kebahagiaan dunia ketimbang akhirat.
- Di ranah dakwah, tidak sedikit ustadz yang menabrak kaidah komunikasi. Alih-alih dakwah, tapi justru menjauhkan kaum muslimin dari kebenaran. Islam dihadirkan sepotong-sepotong hingga tampak lucu, cemen, kaku, kuno, dangkal, urakan, bahkan menyeramkan.
Wallahu a'lam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Menelisik Strategi 'Dakwah' ala LGBT"
Post a Comment