Menulis

Menulis

Nasib Jadi Pemain Sepak Bola Cabutan



Kisah ini sungguh tidak laik untuk dibaca, apalagi buat kaum Hawa. Namun, kalau Anda nekat membacanya, risiko kepala pening dan bibir pecah-pecah di luar tanggung jawab kami 🙊 qiqiqi... (kayak penitipan sepeda motor aja, he he).

Sejak masih unyu-unyu, saya sangat ingin menjadi pemain bola profesional. Maklum, darah Bonek terlanjur melekat di alam bawah sadar. Sebagai lelaki biasa, saya sangat terobsesi menjadi penerus Anshari Lubis, Fachri Khusairi, atau Ruli Nere.

Alhasil, sejak di bangku SD saya rajin bermain bola. Hujan, badai, lapangan becek, lokasi jauh, sepatu jebol, kaos kaki bolong, decker pinjaman, tak pernah jadi soal. Yang penting terus bermain agar dapat berlaga di Stadion Tambak Sari, Surabaya (Markas Buto Ijo, eh salah, Bajul Ijo).

Sayang seribu sayang, meski sudah literan keringat tercucur, impian bergabung dengan Persebaya tak pernah kesampaian. Salah satu penyebabnya, saya tak terdaftar di klub sepak bola resmi. Padahal, salah satu sarat agar bisa bermain di pentas nasional harus tergabung di klub profesional.

Tak ingin menyerah, saya terus berjuang agar terdaftar di salah satu klub di Kota Pahlawan. Saya pun mencoba mencari tahu klub mana yang cocok buat saya.

Setelah tengok kanan-kiri, pilihan jatuh pada Indonesia Muda (IM). Klub ini masuk daftar penyumbang pemain untuk Persebaya. Mantap dengan IM, saya coba merapat ke bagian pendaftaran.

Namun sebelum resmi bergabung, sebagai anak, saya terlebih dahulu meminta restu kepada kedua orangtua. Seperti pesan pak kyai, ridho orangtua adalah jalan sukses bagi anak.

"Pak, Bu, saya ingin masuk klub sepak bola. Boleh tidak?" kata saya dengan nada rendah dan wajah sedikit memelas.

Alhamdulillah, Ibu mengamini cita-cita saya. Namun, justru Bapak yang tidak berkenan. Dengan nada skeptis beliau berujar, "Gak usah jadi atlet. Nasib pemain bola di Indonesia gak jelas. Bagaimana kalau kakimu patah? Siapa yang nanggung? Mending belajar saja biar pinter."

Tweweweengggg... Kata-kata Bapak begitu menghunjam di telinga. Menusuk tepat ke ulu hati. Benar-benar telak mirip tendangan pinalti Ronald Koeman yang terkenal keras. Mak jleb, jleb, jleb, jleeeeeebbbbb.

Dengan wajah sendu dan hati galau, saya pun mengurungkan niat mendaftar jadi pemain IM. Lama saya memikirkan kata-kata Bapak. Tapi alhamdulillah, akhirnya saya bisa menerima keputusan beliau.

Gagal jadi pemain profesional, saya beralih jadi pemain bola cabutan alias tarkam. Dengan skill pas-pasan, saya bermain dari kompetisi satu ke kompetisi lainnya.

Hasilnya luar biasa, dari sekian banyak kejuaraan kelas teri yang saya ikuti, mayoritas tim saya gagal jadi juara (huuuuuu...jempol kebalik). Kenyataan ini membuat saya sedikit yakin bahwa saya memang gak bakat jadi pemain bola profesional 🙊 qiqiqi.

Ada banyak kisah menarik selama saya menekuni dunia sepak bola abal-abal. Pernah suatu saat saya diajak bermain melawan satu kesebelasan di Sidoarjo. Dengan semangat baja, saya dan teman-teman meluncur menuju lokasi pertandingan.

Alhamdulillah, setelah satu jam di kendaraan, kami tiba di stadion. Kami serempak memakai seragam yang telah disediakan panitia. Di luar prediksi, panitia memberi kami minuman yang "mengejutkan."

Bukannya Extra Joss atau Kratingdaeng, panitia hanya memberi kami masing-masing satu sachet minuman "Hore" (sekelas Jas Jus). Meski ada banyam pilihan rasa seperti apel, jeruk, dan strawberry, tetap saja minuman itu tak menarik bagi kami.

"Astaghfirullahaladzim. Ini mau main bola kok minumnya Hore. Benar-benar panitia gak bondo (ngirit). Wah, wah, wah, semangat 45 mendadak jadi Semangat 86," gumam kami.

Gara-gara Hore, adrenalin yang harusnya deras mengalir seolah seperti berhenti. Meski demikian, kami tetap mendendang bola hingga peluit akhir dibunyikan. Prit, prit, priiiiittt.

Masih banyak kisah seru yang terjadi di lapangan hijau. Namun, biarlah itu jadi kenangan hingga akhir hayat.

Bagi Anda yang senasib dengan saya (gagal jadi atlet bola), tidak usah berkecil hati. Terkadang, impian harus tetap jadi impian. Biarlah ia hidup sebagai pemanis imajinasi yang tak lekang waktu.

Menarik menyimak pernyataan Pendiri sekaligus Direktur Sekolah Alfalah, Ciracas, Jaktim, drg. Wismiarti Tamin. Beliau pernah berujar, "Jika Allah tidak memberikan tanggung jawab yang kita impikan, pasti Dia memberi tanggung jawab lain yang sama pentingnya."

Hmmm, indah sekali ya kata-kata beliau. Mungkin tanggung jawab sebagai pemain bola tidak cocok buat manusia seperti saya. Namun, setidaknya Allah memberi tanggung jawab lain yang sama pentingnya, yaitu mendoakan Timnas Indonesia bisa tembus level dunia, he he he. Aamiiin.

0 Response to "Nasib Jadi Pemain Sepak Bola Cabutan"

Post a Comment