Menulis

Menulis

Rentannya Kita Diadu-domba

Banyak orang yang berjuang agar Islam tegak, Islam jaya, Islam mendunia. Berbagai cara ditempuh agar Islam menjadi rahmatan lil'alamin.

Sebagian pihak fokus mengkaji kitab-kitab klasik. Mereka sungguh-sungguh memilih pemahaman yang otentik dengan asalnya. Saking otentiknya, pihak lain melabeli golongan ini dengan sebutan kolot, ortodok, kaku, keras, bahkan radikal. Pihak-pihak ini memaknai Alquran dan hadist dengan dasar-dasar tertulis yang terseleksi. Misal, hukum pemakaian jilbab. Mereka sangat ketat hingga pada level bercadar.

Di waktu yang sama, sebagian umat Islam lain muncul dengan warna modern. Mereka tampil hangat, luwes, intelek, dan ramah. Mereka memaknai Alquran dan hadist dengan cara-cara kekinian. Saking modernnya, jilbab dihukumi tidak wajib. Umat Islam bebas memilih, mau pakai atau tidak.

Yang menarik, aneka golongan Islam ini sering kali saling menyalahkan. Tak jarang, di antara pengikutnya saling ejek, saling hina, saling laknat, bahkan saling serang.

Sebagai mantan jurnalis, saya terbiasa duduk di tengah. Saya dilatih untuk melihat kanan-kiri sebelum menulis. Istilahnya: cover both sides (meliput dua sisi). Jika A menuduh B bersalah, saya tidak boleh langsung menulis B salah. Saya harus cek dan ricek apakah tuduhan A benar adanya. Begitu pula sebaliknya. Jika B menuduh A salah, saya harus cek dan ricek tuduhan itu.

Alhamdulillah, saya akrab dengan kaum muslimin dari aneka golongan Islam. Baik yang disangka sangat keras, maupun yang dituduh toleran kelewat batas. Sebagai mantan wartawan, sekali lagi, saya terbiasa tidak berkepentingan menyalahkan pihak manapun. Saya duduk di tengah untuk mengamati dan melaporkan apa yang terjadi.

Satu hal yang saya yakini, aneka warna Islam di Indonesia, bahkan dunia, rentan sekali diadu-domba. Terlebih, jika kaum muslimin suka mengedepankan ego ketimbang logika. Istilah kata, orang Islam hobi mandi bensin. Cukup dinyalakan sebatang korek api, kebakaran akan menyebar ke mana-mana (naudzubillahi min dzalik).

Fenomena ini mirip dengan kosakata haters dan lovers di panggung politik Indonesia. Lovers memuji presiden setinggi langit. Mereka mengolok-ngolok haters sebagai pihak yang dungu, kolot, sakit hati, dan irasional. Di saat yang sama, haters menuding pihak lovers sebagai cecunguk penghamba presiden. Menariknya, lovers dan haters KTP-nya sama: WNI.

Kebayang nggak sih kalau kita sejatinya (masih) dalam fase devide et impera? Sekadar mengingatkan, Belanda sukses menjajah kita 350 tahun dengan strategi ini.

Saya senang bisa berguru pada Pendiri sekaligus Direktur Sekolah Alfalah, Cipayung, Jaktim, drg. Wismiarti Tamin. Beliau bukan sosok sempurna. Beliau manusia biasa yang punya banyak kekurangan. Tapi, ada satu pesan dari beliau yang selalu saya ingat.

"Pak Gem, kalau kita punya masalah, kita bicara, bukan dengan serangan verbal, apalagi agresi fisik," pesan wanita yang akrab disapa Bu Wismi ini.

Untuk mempertajam pemahaman ini, coba renungi sabda Baginda Nabi Muhammad SAW.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِي:ءرواه الترمذي واحمد

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah saw bersabda, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela dan bukan orang yang suka melaknat serta bukan orang yang suka bicara jorok dan kotor.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi mempraktikkan ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسُبُّوا الرِّيحَ فَإِنَّهَا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ تَأْتِي بِالرَّحْمَةِ وَالْعَذَابِ وَلَكِنْ سَلُوا اللَّهَ مِنْ خَيْرِهَا وَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا  :رواه ابن ماجه واحمد

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Bersabda Rasulullah SAW:

“Janganlah kalian mencaci-maki angin, karena sesungguhnya angin itu dari angin Allah yang datang membawa rahmat dan azab, akan tetapi memintalah kepada Allah dari kebaikannya dan berlindunglah kepada Allah dari keburukannya”.  (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Wallahu a'lam

0 Response to "Rentannya Kita Diadu-domba"

Post a Comment