Menulis

Menulis

Akibat Mencuri Jambu Sambil Baca Bismillah


Seperti coretan lainnya, tulisan ini tidak pantas dibaca Anda yang super sibuk. Tapi, bagi yang nganggur jaya, semoga cerita sederhana ini ada manfaatnya.

Alkisah, sekitar 20 tahun lalu, saat duduk di bangku kelas 1 SMA, saya pernah mengalami kejadian menegangkan. Benar-benar menegangkan karena berhubungan dengan tindak kriminalitas.

Suatu malam, di dekat rumah saya ada panggung 17-an. Tahu sendiri, bagaimana meriahnya acara tahunan seperti itu. Puluhan pedagang tumplek blek berderet menjajakan produknya. Mulai dari gorengan, kacang godog, jagung rebus, krupuk upil, gulali, hingga mainan anak-anak.

Selain aneka jajanan tradisional, masyarakat juga menikmati beragam pertunjukan seni yang tersaji di atas pentas. Namanya juga 17-an, artisnya ya tetangga sendiri. Tidak ada bintang tamu macam Iwan Fals, Nia Daniati, atau Titik Puspa (ketahuan tuanya 🙊 qiqiqiiii...)

Di tengah padatnya manusia, mendadak seorang anak muda berpawakan tegap menepuk pundak saya.

"Apa kabarmu At? Wah, lama gak ketemu, jadi apa kamu sekarang?" katanya dengan senyuman khas.

"Weeh, Cak Har. Alhamdulillah apik Cak. Bagaimana kabar sampeyan? Tambah gempal aja. Jadi apa sampeyan sekarang?" jawab saya sumringah.

Ternyata, sosok di depan saya adalah Hartono. Dia teman SD saya. Wajahnya (maaf) mirip Boneng, komedian tonggos di film Warkop DKI. Karena giginya yang khas, jadinya mudah sekali mengenali Hartono.

Seperti kebanyakan sahabat saya waktu kecil, Hartono berasal dari keluarga tak mampu. Dia beberapa kali tinggal kelas karena lambat berpikir. Alhasil, usia kronologisnya lebih banyak dibanding teman-teman sekelas.

Meski kognisinya kurang, Hartono sangat bagus di interpersonal (hubungan sosial). Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Dia juga suka menolong dan tidak egois.

"Aku sekarang bantu bapak jadi tukang becak At. Gantian ngayuh becak sama bapak," jawabnya dengan suara berat.

Sejak SD, Hartono memanggil saya dengan "Paat", kependekaan dari "Sufaat". Agar luwes, "At" menjadi sapaan akrab untuk Sufaat.

"Kamu gak sekolah lagi Cak Har?" tanya saya.

"Gak At. Lulus SD dah gak sekolah lagi. Sekarang bantu-bantu bapak, gantian narik becak," jawabnya.

Hmmm, kasihan juga saya dengan Hartono. Sudah hidupnya susah sejak kecil, kini dia harus mewarisi beban hidup yang cukup berat.

Singkat cerita, kami pun bernostalgia mengenang masa-masa indah di sekolah. Beberapa saat kemudian, Hartono mengajak saya melakukan aksi iseng.

"At, tetanggamu depan perumahan jambunya mateng-mateng ya? Kita ambil, yuk!" kata Hartono dengan senyum khasnya.

"Wah, aku gak enak Har. Kamu saja kalau berani. Orangnya galak," jawab saya.

"Tenang, aku yang bagian manjat, kamu yang jaga depan pagar. Bagaimana?," katanya.

Ngeri juga saya mendengar tawaran Hartono. Tapi, karena ilmu yang kurang, adrenalin saya akhirnya terpancing. Gejolak kawula muda menguasai alam bawah sadar saya.

"Oke Har," jawab saya dengan hati setengah ragu.

Sejurus kemudian, kami berdua sudah berdiri di samping pagar rumah tetangga saya. Saat bersiap memanjat pagar, saya memberi saran pada Hartono.

"Baca bismillah Har, biar selamet," kata saya setengah reflek.

"Oke sip, bismillah," kata Hartono.

Dengan sigap, Hartono melompati pagar lalu memanjat pohon jambu yang buahnya lebat. Di luar dugaan, penghuni rumah mendadak berteriak keras.

"Woi, ngapain kamu manjat-manjat," teriaknya sembari membuka pintu halaman.

Tanpa komando, saya langsung ngacir dengan kecepatan penuh. Saya melihat Hartono melompat dari atas pohon dan berlari membuntuti saya.

Beberapa detik kemudian kami berkumpul lagi di arena 17-an. Dengan napas terengah-engah, kami meriview kejadian yang mendebarkan itu.

"Wah sial, orangnya keluar. Kamu sih suruh aku baca bismillah. Masak mencuri jambu baca bismillah?" kata Hartono sambil menghela napas dalam-dalam.

"Ya, aku kan gak pengalaman Har. Sudah gak usah nyuri jambu lagi. Gak enak sama yang punya," timpal saya.

Hartono yang masih deg-degan, menganggukkan kepala tanda setuju. Kami pun membeli es teh untuk mengusir ketegangan.

Sejak kejadian itu, saya tak pernah lagi bertatap muka dengan Hartono. Dia sibuk mengayuh becak, sementara saya aktif sekolah plus loper koran. Meski singkat, memori malam itu tetap terngiang sampai sekarang.

*****

Setelah beberapa tahun, saya coba renungi pengalaman buruk dengan Hartono. Ternyata, apa yang kami lakukan bertentangan dengan Surat Albaqoroh ayat 24.

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون

"Dan kalian jangan mencampur kebenaran dengan kebatilan dan juga jangan menyimpan kebenaran padahal kamu mengetahuinya."

Mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, atau kebatilan dengan kebenaran, sama sekali bertentangan dengan Islam. Benar ya benar, salah ya salah. Tidak bisa dicampur. Jika dicampur, kerusakan yang akan terjadi.

Di negeri kita tercinta, betapa masih banyak kebenaran dicampuradukkan dengan kebatilan.

Alih-alih jadi pejabat atau wakil rakyat, tapi justru mendulang proyek pribadi.

Alih-alih menegakkan hukum, tapi justru praktik suap yang mendominasi.

Alih-alih sujud di Baitullah, tapi biayanya hasil mencuri dan korupsi.

Alih-alih mengikat janji suci, tapi justru saling mencaci dan menyakiti.

Alih-alih ingin rekreasi dan menenangkan diri, tapi justru menjauhkan diri dari Cahaya Ilahi.

Alih-alih membantu sesama, tapi justru mengambil keuntungan untuk diri sendiri.

Alih-alih membaca Kitab Suci, tapi justru merendahkan keagungan Kalam Ilahi.

Seperti yang pernah saya alami dengan Hartono, kebatilan tidak akan pernah bisa dicampur dengan kebenaran. Jika dipaksakan, kerusakan yang akan terjadi.

Semoga Allah menerima taubat kita, mengampuni dosa-dosa kita, kebodohan kita, dan kekurang-ajaran kita.

Dan semoga Indonesia bebas dari praktik-praktik kebatilan berjubah kebenaran--sebuah kondisi yang 100% bertentangan dengan Firman Ilahi. Aamiiin YRA.

0 Response to "Akibat Mencuri Jambu Sambil Baca Bismillah"

Post a Comment