Kenangan Semalam Tidur di Rumah Didi Petet
Dunia hiburan Indonesia merasakan duka yang mendalam. Aktor kenamaan Didi Petet, hari ini, berpulang ke rahmatullah. Sudah pasti, banyak kenangan manis yang diukir Pak Didi di hati rakyat Indonesia.
Saya sendiri punya kenangan indah yang tak terlupakan. Tahun 2002, saat kali pertama hijrah ke Jakarta, saya mendapat tugas khusus dari Tabloid "Indonesia Selebriti" (Jawa Pos Group) untuk meliput Pak Didi.
Rumah beliau saat itu di kawasan Bambu Apus. Dengan naik bus kota dari Terminal Blok M, saya menyusuri Jakarta menuju lokasi. Ditambah sebentar naik ojek, alhamdulillah, akhirnya saya sampai di kediaman beliau.
Beberapa menit kemudian, kami bercakap-cakap ringan di taman samping rumah. Tak ada kesan hebat, kaya, terkenal, atau apapun yang superior. Sama seperti rakyat biasa, beliau ngobrol santai tanpa batas.
"Saya suka wawancara seperti ini. Tenang, santai, tidak ada kecurigaan, tidak ada emosi. Nyaman, he he," tutur beliau sembari tertawa.
Banyak hal yang saya tanyakan. Mulai dari kehidupan masa kecil, miniti karir, perjuangan jadi artis, hingga hingar bingar panggung hiburan Indonesia.
"Saya dulu pernah sampai jual cincin kawin karena gak punya duit. Tapi, alhamdulillah, akhirnya masa-masa sulit bisa terlewati," kenang Pak Didi.
Usai wawancara, di luar dugaan, Pak Didi mengizinkan saya tidur di rumahnya. Padahal, kami sebelumnya tidak saling kenal. Saya juga heran, kok beliau begitu baik sampai mengizinkan saya menginap di rumahnya.
"Kalau mau, nanti malam ikut saya ke lokasi syuting. Di sana, Mas Imam bisa ketemu dan wawancara banyak artis. Sekalian nanti tidur sini saja. Besok baru pulang," kata beliau tersenyum.
Wah, senang sekali dapat tawaran langka itu. Tanpa basa-basi, saya langsung mengamininya. Jarang-jarang ada artis top meminta wartawan junior tidur di rumahnya.
Usai wawancara, saya diperkenalkan dengan seorang ustadz yang tinggal di rumah beliau. Ustadz muda itu sengaja diminta Pak Didi untuk mengajar privat semua anggota keluarganya.
Di era yang makin global, beliau tidak ingin tergerus zaman dan menjauhi ajaran Islam. Justru, beliau minta didampingi ustadz agar hidup sakinah mawadah warohmah.
"Sementara nunggu malam, Mas Imam sama mas ustadz dulu. Makan, mandi, sholat, istirahat sebentar. Nanti malam kita ke lokasi syuting, okay!" kata Pak Didi.
Wah, senang sekali bisa bersantai ria di rumah Pak Didi yang luas dan asri. Apalagi, semua jamuan snack dan makanan berat tersedia. Alhamdulillah, benar-benar nikmat dari Allah.
Saat bersama ustadz (yang namanya saya lupa, he he), saya menanyakan kehidupan sehari-hari Pak Didi. Mas ustadz menjelaskan Pak Didi adalah pribadi yang baik dan dermawan. Beliau rutin menginfakkan sebagian hartanya untuk kepentingan fakir miskin, anak yatim, dan sabilillah.
"Di sela-sela kesibukannya, beliau juga mengajari muda-mudi di sekitar sini untuk bisa hidup mandiri. Kadang beliau mengajari akting," tutur mas ustadz.
Wah, hebat sekali yang Pak Didi. Diam-diam, beliau punya seabrek aktivitas sosial yang bermanfaat. Benar-benar artis yang patut dicontoh.
*****
Saat malam tiba, Pak Didi mengajak saya naik mobil ke lokasi syuting. Saya lupa sinetron apa yang sedang dilakoni Pak Didi. Yang pasti, di sana, saya ketemu artis papan atas macam Jaja Miharja.
Yang menarik, penampilan para artis tidak glamor seperti di TV. Mereka memakai baju biasa, bahkan makan nasi bungkus. Jaja Miharja sendiri memakai selimut sarung saat menunggu giliran syuting.
Beberapa jam berkumpul dengan artis-artis top, Pak Didi mengajak kami pulang. Di mobil, kami ngobrol banyak tentang kehidupan artis. Sama seperti orang biasa, artis juga punya karakter yang macam-macam.
"Tergantung kitanya Mas Imam mau seperti apa. Mau glamor ya bisa, mau sederhana ya bisa. Sebagai muslim kan kita diperintah untuk ibadah. Ya udah, kita ibadah saja, gak usah macem-macem," tuturnya.
Keesokan harinya, saya pamit pulang ke base camp. Lagi-lagi, Pak Didi menunjukkan akhlaknya yang mulia. Beliau mengizinkan saya meminjam beberapa foto jadul untuk discan di kantor.
"Gak pa pa dibawa dulu saja foto-foto itu. Tapi, jangan sampai rusak lho. Itu satu-satunya yang saya punya. Awas kalau rusak, he he," katanya bercanda.
Sejak wawancara itu, saya tidak pernah lagi bertemu Pak Didi. Sekitar setahun kemudian, saat sedang di Surabaya, tiba-tiba beliau muncul di hadapan saya.
"Hai Mas, apa kabar?" kata Pak Didi usai sholat Jumat di Masjid dekat rumah orangtua saya.
"Masih ingat saya Pak?," tanya saya.
"Ya, masih lah. Cuman namanya lupa, he he," jawab beliau.
"Imam, Pak," kata saya.
"Oh iya, Mas Imam. Masih jadi wartawan Mas?" tanyanya.
"Alhamdulillah masih Pak. Tapi, sudah tidak pernah liputan infotainment. Sekarang liputan politik, hukum, dan kriminal," kata saya.
"Kalau ke Jakarta silakan mampir Mas Imam," tuturnya.
"InsyaAllah, Pak," jawab saya.
Sudah, sampai di sini ceritanya. Serius amat bacanya, he he. Ya, demikianlah para pembaca sekalian, hidup hanyalah rangkaian cerita yang akan berakhir pada waktunya.
Pak Didi sudah pulang menemui Penciptanya. Kita doakan semoga semua dosanya terampuni dan semua amal baiknya diterima. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan ganti yang lebih baik. Aamiiin YRA.
Yang jauh lebih penting, bagaimana dengan kita? Sampai sejauh mana kaki kita akan melangkah?
Cepat atau lambat, kita akan seperti Pak Didi. Terbujur kaku, tak bernyawa. Semoga kita bisa khusnul khotimah. Aamiiin YRA.
0 Response to "Kenangan Semalam Tidur di Rumah Didi Petet"
Post a Comment