Lebaran identik dengan mudik. Mudik identik dengan kecelakaan. Kecelakaan identik dengan korban tewas, luka, trauma, dan kerugian harta benda.
Sekadar informasi, Posko Kementerian Perhubungan mencatat hingga hari ke-4 lebaran terjadi 4.147 kecelakaan. Sebanyak 808 nyawa melayang dan kerugian materi mencapai Rp 11 miliar. Jumlah tersebut dihitung sejak H-15 lebaran.
Kalau membawa bencana, apa benar silaturahim (baca: mudik) memanjangkan umur dan meluaskan rejeki seperti yang disabdakan baginda Nabi Muhammad SAW?
Harus hati-hati menjawab pertanyaan ini. Di satu sisi Islam menyebut silaturahim (salah satunya mudik) membawa banyak berkah. Namun, di sisi lain, fakta menunjukkan mudik adalah sumber petaka.
FYI, mudik (silaturahim bareng-bareng) tidak ada dalam syariat Islam. Kalau menjalin/memperkuat hubungan kekerabatan (silaturahim) jelas diatur dalam Islam, bahkan wajib hukumnya. Mereka yang memutus tali persaudaraan haram masuk surga.
Persoalannya, mayoritas kaum muslimin di Indonesia terlanjur menjadikan mudik sebagai ajang silaturahim tingkat nasional, regional, bahkan internasional. Alhasil, berbagai masalah pun muncul, terutama di sektor transportasi.
Dari sini bisa disimpulkan, bukan silaturahimnya yang bermasalah, namun sistem transportasinya yang mesti dibenahi, termasuk adab dalam berkendara.
Di tengah pesatnya teknologi komunikasi, akan lebih baik jika silaturahim elektrik mulai mendapat tempat di hati masyarakat.
Apakah afdhol silaturahim via udara?
Tentu saja. Islam tidak menginginkan umatnya dalam kesulitan melainkan kemudahan. Esensi peribadatan seharusnya mendapat perhatian lebih ketimbang euforia yang kebablasan.
Istilah kata, puasa, tarawih, ngaji, iktikaf, takbiran aja kagak, kok ikut-ikutan mudik. Maaf, bukan nyindir lho ini 🙊 qiqiqi... Cuman berbagi coretan yang mudah-mudahan ada manfaatnya.
Be smart. Be wise. Be careful.
0 Response to "Mahalnya 'Silaturahim' (dari korban harta, trauma, hingga nyawa)"
Post a Comment