Menulis

Menulis

Membumikan Alquran di Indonesia


Semua pasti tahu Alquran adalah kitab suci agama Islam. Dalam bahasa wahyu, Alquran adalah manual book alias petunjuk alias pedoman hidup. Artinya, orang Islam wajib menjadikan Alquran sebagai landasan berpikir, berucap, dan berbuat.

Yang menarik, meski mayoritas penduduk Indonesia ber-KTP Islam, Alquran terbukti belum mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak masalah di Tanah Air yang justru dipicu oleh orang Islam.

Korupsi, pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembalakan liar, suap, pelecehan, KDRT, narkoba, miras, tawuran, perjudian, dan pelacuran, bukan barang baru di Nusantara.

Mengapa ironi ini sampai terjadi? Ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan.

1. Tidak Dibaca
Bagaimana mungkin tahu isi buku kalau tidak dibaca? Faktanya, Alquran jarang dibaca oleh mayoritas orang Islam. Lebih miris, banyak yang belum bisa baca Alquran. Padahal, demi hidup sejahtera di bumi, pemerintah rela menggeber program wajib belajar bagi anak-anak Indonesia.

Banyak kaum muslimim yang sedih, malu, khawatir, bahkan takut tidak bisa membaca huruf alphabet ketimbang buta aksara Alquran. Ya apa iya?

2. Tidak Dipelajari
Alquran berbahasa Arab, sudah barang tentu diperlukan terjemahan. Yang perlu dicatat, terjemahan buta (tanpa guru) bisa memicu pengertian yang berbeda.

Laiknya Kitab Undang-Undang, Alquran butuh berbagai disiplin ilmu untuk bisa tepat memahami maknanya, baik yang tersurat maupun tersirat.

3. Salah Memahami
Ini yang banyak terjadi. Tanpa ilmu yang cukup, Alquran salah dipahami. Alhasil, maksud hati ingin berjiwa Alquran, tapi justru memicu masalah.

Paling ekstrim, ayat-ayat perang disalahartikan sehingga menumbuhkan karakter kasar, memusuhi, bahkan membunuh orang-orang yang haram darahnya.

Agar selamat dari pemahaman keliru, memilih guru yang benar menjadi sebuah kewajiban. Salah memilih guru, besar sekali risikonya.

Kembangkan juga sifat kritis agar tidak terjebak dalam kesalahan yang tersistem. Kemampuan iqro (membaca dengan analisis) harus terus diasah agar kemurnian pemahaman tetap terjaga.

4. Tidak Dilaksanakan
Sudah bisa membaca, mengerti, dan memahami dengan benar, kewajiban selanjutnya adalah melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Tanpa praktik, Alquran hanya tersimpan di dalam laci. Butuh aplikasi nyata agar buah dari Alquran benar-benar menjadi blessing for the universe (rahmatan lil alamin).

Pola pikir, ucapan, dan perbuatan, harus dilandaskan pada Alquran dengan pemahaman yang benar. InsyaAllah, semua makhluk di jagat raya akan merasakan keindahan dan keagungan firman Ilahi, kecuali mereka yang memang jahat, iri, dengki, dan benci.

Menarik menimba ilmu dari Pendiri sekaligus Direktur Sekolah Alfalah, Ciracas, Jaktim, drg. Wismiarti Tamin. Wanita yang akrab disapa Bu Wismi ini memberi contoh bagaimana membumikan Alquran di Indonesia.

Suatu saat, saya meminta pendapat beliau tentang maraknya suap dan korupsi di Indonesia. Sebagai penulis yang 15 tahun malang melintang di dunia media, saya pesimistis Indonesia bisa bebas suap dan korupsi.

"Bu, banyak teman-teman pengusaha yang mengeluh sulitnya dapat proyek dengan cara bersih. Sudah jadi rahasia umum, pengusaha harus menyetor 'amplop' agar dapat proyek. Bahkan, ada juga yang harus memberi gratifikasi berupa miras dan cewek. Bagaimana menurut Bu Wismi?" tanya saya.

Mendengar itu, Bu Wismi balik bertanya kepada saya. "Kalau menurut Pak Imam sendiri bagaimana?"

Setahu saya, jika belum bisa 100% menghindari suap dan korupsi, ya setidaknya tidak terlibat terlalu jauh. Misal, menghindari gratifikasi berupa miras dan cewek. Sebagai gantinya, pengusaha bisa memperbanyak sedekah untuk kaum dhuafa dan majlis ta'lim, atau rajin ibadah ke Tanah Suci.

Mendengar jawaban saya, Bu Wismi langsung mengernyitkan dahi. Dengan lembut beliau berujar, "Jika orang Islam sedikit saja membenarkan praktik suap dan korupsi, Indonesia tidak akan pernah merasakan Alquran sebagai rahmatan lil alamin."

Subhanallah, jawaban Bu Wismi membuat dada saya terasa sesak. Betapa tidak, di tengah lazimnya suap dan korupsi, Bu Wismi benar-benar menolak praktik haram itu.

"Menganggap sepele kesalahan kecil adalah awal dari kerusakan yang lebih besar. Bahaya sekali jika orang Islam punya pemahaman seperti itu," imbuh beliau.

Kata-kata Bu Wismi membuat saya teringat Surat Almuthoffifiin ayat 14 yang berbunyi:

كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُون.َ

Artinya:
Sekali-kali tidak. Bahkan, ada titik hitam di hati mereka sebab apa-apa (kesalahan) yang mereka perbuat.

Selama ini, noda hitam (ron) lebih banyak diartikan sebagai kesalahan-kesalahan bersifat "anti-reliji" macam miras, narkoba, merampok, mencuri, zina atau meninggalkan kewajiban seperti sholat, puasa, zakat, umrah, haji, dll.

Ternyata, praktik suap dan korupsi, disadari atau tidak, juga masuk dalam daftar penyumbang noda hitam. Jika dikerjakan berulang-ulang akan membuat nurani gelap gulita. Semakin lama dibiarkan, semakin sulit dibersihkan.

Benar-benar ironi, suap dan korupsi tumbuh subur di negeri dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia. Padahal, dua kesalahan itu membuka jalan bagi maraknya perjudian, miras, narkoba, pencurian, perampokan, pelacuran, dsb.

Wallahu a'lam

0 Response to "Membumikan Alquran di Indonesia"

Post a Comment