Menulis

Menulis

Pengalamanku Jadi Pengamen (bagian 1)



Ada banyak profesi di dunia ini. Salah satunya pengamen. Nah, saat duduk di bangku kuliah semester awal, saya menyempatkan diri mencicipi pekerjaan ini.

Pertama, untuk menambah uang jajan. Maklum, saat itu saya belum punya banyak skill (padahal sekarang juga gak banyak skill he he he).

Karena udah bisa main gitar dikit-dikit, akhirnya saya memberanikan diri untuk jual suara (meski aslinya suara saya gak laik jual).

Kedua, terinspirasi Andre Stinky. Kata sebagian kecil teman2, waktu muda, wajah saya agak, sekali lagi agak, mirip pelantun lagu "mungkinkah". Jadi, saya pikir tidak ada salahnya iseng menjajal nasib di jalur musik. (Alhamdulillah gagal).

Ketiga, ingin mengalami langsung bagaimana rasanya jadi pengamen, baik dari sisi psikologis, ekonomi, sosial, maupun budaya (maaf agak ndobos dikit, biar kelihatan berotak he he he).

Lagu-lagu yang saya pilih adalah tembang kenangan. Alasannya, selain banyak digemari masyarakat, musikalnya juga sederhana. Ibaratnya, C, A minor, D minor, G, ke C lagi.

Koes Plus adalah grup band andalan saya. Mulai "Kisah Sedih di Hari Minggu, Pelangi, hingga Diana Anak Petani", semua sudah pernah saya dendangkan.

Saya beruntung ada teman yang mau mendampingi saya memulai debut sebagai pengamen. Namanya Yoshua. Bukan penyanyi cilik Diobok-obok, tapi teman sekelas SMA saya.

Dia jago banget main gitar. Maklum, dia mengambil kursus melodi, sebulan waktu itu Rp. 12 ribu (bayar SPP masih sekitar Rp. 6 ribu).

Berdua bareng Yoshua, kami menyusuri beberapa rumah di kawasan Tenggilis Mejoyo, dekat SMAN 14 (sekolah kebanggaan kami).

Hasilnya lumayan, bisa dapat Rp. 3 ribu semalam kalau pas nasib baik. Uang itu kami bagi rata sesuai azas kemanusiaan dan keadilan yang beradab.

Beberapa minggu ngamen bareng, akhirnya saya beranikan diri untuk bersolo karir. Jadilah saya Satria Bergitar Jilid II. Nyanyi plus nggenjreng.

Bisa ditebak, hasilnya lebih banyak. Jika sebelumnya, nafkah dibagi dua, sekarang 100% masuk kantong sendiri. Tapi, namanya juga pengamen, tetep saja hasilnya tak bisa buat modal apel.

Ada pengalaman memalukan hingga tak terlupakan saat saya jadi pengamen solo. Saat beraksi di wilayah dekat kampus UPN, mendadak muncul sesosok gadis cantik dengan membawa uang recehan. Oh my God, oh no, oh tidaaak.....

Mau tahu seperti apa kisah lengkapnya? Ikuti lanjutannya dalam waktu dekat.

Salam musik Indonesia :)

0 Response to "Pengalamanku Jadi Pengamen (bagian 1)"

Post a Comment