Menulis

Menulis

Pengalamanku Jadi Pengamen (bagian 2)



Terima kasih kepada semua sahabat yang sudah "like" dan komen di tulisan saya sebelumnya. Bagi yang penasaran dengan kisah Satria Bergitar Jilid II, berikut lanjutan ceritanya.

Suatu malam, usai kuliah, saya menyempatkan diri main ke kostan teman sekampus. Namanya Sugiharto alias Sugik alias Ugik dari Banyuwangi. Anaknya lugu tapi otaknya encer. Urusan nilai, saya kalah jauh.

Anda sudah pasti paham mengapa saya silaturahim ke tempat Ugik. Sebagai orang dengan IQ pas2an, saya butuh back up dari orang2 pandai. Yup, saat masuk musim ujian, "wangsit" dari orang2 pinter dan baik hati kayak Ugik sangatlah dibutuhkan. Alhamdulillah, dia termasuk salah satu orang yang dengan senang hati berkontribusi terhadap nilai UTS dan UAS saya. Terima kasih Cak Ugik atas kebaikan hatinya :)

Nah, saat di kostan Ugik, saya melihat ada gitar nganggur. Dari sini, ide bisnis langsung muncul. Setelah minta izin si empunya gitar, saya bergegas menyusuri jalanan di perumahan agak jauh dari kampus UPN, Gunung Anyar.

Setapak demi setapak saya mulai menjauhi kostan Sugik menuju kawasan padat penduduk (ya iyalah, masak mau ngamen di kuburan. Yang ada kuntilanak, pocongan sama gendruwo. Bukan dapat duit bisa-bisa dikasih nomer togel he he he).

Layaknya Om Jokowi yang hobi blusukan, satu per satu rumah yang ada tanda kehidupan saya hampiri. Ada yang menerima, ada juga yang menolak. Tapi, malam itu banyakan yang nolak :(

"Maaf mas, yang lainnya saja," kata sejumlah penghuni rumah.

Saya heran, kalimat itu kok banyak yang apal, laiknya butir-butir Pancasila di pelajaran PMP jaman SD. Tapi, berbekal muka badak setengah harimau, meski beberapa kali ditolak, tetap saja saya tancap gas cari recehan.

Sampai suatu ketika, saya hinggap di sebuah rumah bagus dengan halaman tidak seberapa luas. Krik, krik, krik... semua lampu menyala pertanda ada penghuninya. Langsung saja saya memulai konser amal bertajuk "Galang Recehan Demi Uang Jajan".

Saya lupa lagu apa yang saya dendangkan waktu itu. Yang pasti, alunan gitar dan suara saya sadis bingit, hingga memaksa penghuni rumah buru-buru keluar.

Dari kelebatannya, dia gadis usia di bawah 20 tahunan. Dengan menggenggam uang receh, dia membuka pintu untuk memberikan sedekah.

"Duerrrr"... alamaaaaaak, astagfirullahal adziim, inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun, ternyata dia teman sekampus saya.

Beberapa detik mata kami saling berpandangan. Sama-sama seakan tak percaya dengan takdir malam itu.

"Mam, kamu ngamen?" kata gadis itu agak melotot.

Mendengar itu, hati saya langsung rontok. Jantung berdegup tak karuan. Napas sesak. Ibaratnya mati kutu, skak mat.

Wajah saya penuh malu, lidah kiku, kaki terpaku. Glodak, harga diri saya jatuh di bawah 0 derajat celcius.

Dengan muka nyaris hilang, saya langsung ngacir meninggalkan TKP. Kaki saya sprint laiknya kucing kepergok nyuri ikan asin di dapur sempit milik Mak Lampir. Wus, wus, ciiiiiiit (ngepot dulu), wuuuuzzzzzz....

"Ini Mam uangnya," kata mahasiswi cantik itu setengah berteriak.

"Nggak, nggak usah," jawabku sambil terus berlari sembari memegang erat gitar pinjaman.

Peristiwa malam itu benar-benar membuat hati saya galau. Bingung bagaimana besok kalau ketemu si dia di kampus. Pikir punya pikir, saya pun memutuskan mundur dari dunia perngamenan.

Sebagai pendatang baru, saya akui tidak punya cukup kompetensi untuk terus bertahan. Suara saya fales, skill gitar saya pas2an.

Dan yang paling parah, mental saya tempe mendoan + sambel kecap. Terutama kalau ketemu gadis cantik macam teman sekampus saya.

Dalam hati saya berikrar, "Bismillahirrohmanirrohim, saya pensiun dini. Gantung gitar. Layu sebelum terkenal. Selamat tinggal dapur rekaman."

Keesokan harinya, sehabis kuliah sore, si dia menyempatkan diri mendekati saya. Dengan suara lembut dan sopan dia bertanya, "Semalam kok tidak diterima uangnya Mam?"

Berlagak gentleman, saya pun menjawab dengan suara mantap. "Ohhh, santai saja. Aku cuma iseng kok."

***

Secara psikologis, menjadi pengamen itu berat saudara-saudara. Terutama ketika baru mau menyanyi sudah didoain ta'awudz, "maaf mas, yang lainnya saja."

Kedua, beban moral saat mengulurkan tangan untuk menerima recehan. Rasanya hati ini seperti teriris (agak setengah terhina). Apalagi dapat uang 50 repes seperti yang dialami teman SMA saya, Alin. (lihat komennya di tulisan sebelumnya).

Berat hati ini tatkala tangan harus di bawah. Menerima sedekahan dari orang-orang yang belum tentu ridho. Lebih-lebih jika teringat sabda Baginda Nabi Muhammad SAW di hadist Shohih Muslim No 1715: "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah."

So, bagi teman-teman yang berencana jadi pengamen, pastikan bahwa Anda punya skill yang memadai. Baik kualitas suara, maupun skill musikalnya.

Buatlah seindah mungkin hingga membuat orang benar-benar terhibur dan senang hati memberikan imbalan.

Jangan pernah sakit hati jika memang di antara mereka belum berkenan memberi santunan (kayak anak yatim aja, melase rek).

Bisa jadi, mereka memang tak punya uang kecil (logikanya: uang kecil saja gak punya, apalagi uang besar he he he).

Atau mungkin mereka kurang berkenan dengan performa kita. Kita hadir di saat dan tempat yang kurang tepat. Hak mereka sepenuhnya untuk memberi atau tidak.

Merasa senanglah sudah menghibur orang lain, meski hanya dibalas dengan senyuman, permintaan maaf, atau bahkan doa ta'awudz.

InsyaAllah, jika kita niat baik, Sang Maha Kaya akan memberi rejeki di kesempatan yang lain. Cukup Allah sebagai Pelindung dan Pemberi rejeki.

Sementara, bagi Anda yang disambangi pengamen, baik di rumah, di bus, di jalanan, di kostan, maupun di warung makan, jangan pernah kebayang wajah saya. Apalagi cengar-cengir karena teringat tulisan ini (wehhh ge er, ge er, he he he).

Kalau memang kita belum bisa memberi, cukup tersenyum dan katakan dengan sopan, "maaf mas, yang lainnya saja." (ya.... mbalik lagi doa ta'awudz keluar ;)

Pengamen juga manusia saudaraku. Memang di antara mereka ada yang salah jalan. Mengamen untuk menikmati hal-hal negatif. Bagi yang masih seperti itu, kita bantu doa agar mereka mendapat pencerahan.

Semoga mereka bisa memahami bahwa selezat apapun kenikmatan dunia, masih kalah jauh jika dibanding dengan yang disediakan Pencipta di akhirat.

Salam musik Indonesia.

Note: doa ta'awudz adalah doa minta perlindungan agar terhindar dari setan dan segala tipu muslihat serta upadayanya.

0 Response to "Pengalamanku Jadi Pengamen (bagian 2)"

Post a Comment