Menulis

Menulis

Mencoba Jadi Bakul Sepatu Bola Kreditan


Laisal fulus mamfus (tiada uang, the end). Ungkapan semi Arab ini benar-benar merasuk ke dalam otak kebanyakan manusia sejak dulu sampai sekarang. Tidak percaya?

Lihat sekeliling kita. Saking takutnya gak dapat duit, orang nekat melakukan apa saja.

Mulai dari korupsi, nyopet, nggarong, suap-menyuap, utang gak bayar, nilep, tipu-tipu, jual diri, investasi bodong, ngentit, rebutan warisan, sampai-sampai rela memutus persahabatan dan persaudaraan (na'udzubillahi mindzalik).

Nah, bicara soal duit, saya punya pengalaman unik bin nyentrik bin ngisin-ngisini.

Singkat cerita, saya pernah didapuk jadi ketua tim olahraga. Tugas saya tentu saja memasyaratkan olahraga (bukan mengedukasi ibu-ibu tentang pentingnya ASI buat adik bayi)

Dari sini, saya menyusun aneka program penguras keringat, di antaranya kompetisi sepak bola antar majlis ta'lim.

Event kurang prestisius itu dihelat di lapangan STESIA (kampus yang terkenal dengan mahasiswinya yang bening-bening he he)

Jika kebanyakan kompetisi hanya fokus pada anak-anak muda, saya mencoba membuat terobosan baru (kalau terobosan lama bukan terobosan namanya, tapi copycat alis niru-niru bae ;).

Dibantu teman-teman, saya menggelar pertandingan khusus bapak-bapak usia 40 tahun ke atas. Laga old crack tersebut saya masukkan dalam sesi tambahan ketika laga final kompetisi anak-anak muda dilangsungkan.

"Usia boleh tua, tapi urusan bobol membobol gawang, apalagi dari jarak dekat, bapak-bapak adalah jagonya," demikian kata otak saya (semoga tidak ada yang berpikir ngeres).

Alhamdulillah banyak pihak menyambut baik ide ini. Mereka sejalan dengan pikiran saya. Kehadiran bapak-bapak akan menambah semarak event kecil tersebut.

"Bener Cak, memang lebih bagus kalau bapak-bapak ikut main. Final bisa lebih meriah karena mereka pasti ngajak anak dan istri ke lapangan," demikian kata beberapa pendukung fanatik saya.

Saya mesam-mesem saja ketika masyarakat mulai bersiap menyambut ajang tersebut. Diam-diam, saya menyiapkan siasat unik untuk mendulang duit. Saya membuat skema bisnis yang ciamik soro.

***

"Aku gak duwe sepatu bal Mam. Wis suwe aku gak bal-balan (Aku tidak punya sepatu bola Mam. Sudah lama aku tidak main bola)," demikian ujar sebagian besar bapak-bapak.

"Jebreeetttttt," kalimat inilah yang saya tunggu-tunggu. Jauh sebelum kompetisi digelar, saya sudah menduga bakalan banyak bapak-bapak yang mengeluh tidak punya sepatu bola. Tapi, justru di sinilah ladang bisnis yang saya ciptakan.

"Santai saja Pak. Kalau gak punya sepatu, kan bisa pinjam. Kalau gak ada yang minjemi, beli saja di saya Pak. Murah-murah lho, he he," kata saya beriklan.

Namanya juga bapak-bapak, saya yakin mereka sudah pasti males dengan usulan meminjam sepatu. Setidaknya ada dua alasan mengapa mereka ogah melakukannya.

Pertama, masalah ukuran. Tidak mudah meminjam sepatu bola yang ukurannya pas di kaki. (ya iyalah, masak pas di hidung. Gimana sih penulis ini. Lebay banget he he ;)

Kedua, kondisi sepatu bola kebanyakan anak muda yang tidak steril. Ibaratnya, bau "harumnya" bisa tercium hingga ke ulu hati. Mak seng, blek, langsung pingsan.

"Kamu jual berapaan Mam?" kata sebagian bapak-bapak di wilayah Semampir, Semolo, Nginden, dan Ngagel Mulyo.

"Murah Pak, hanya 60 ribuan. Mereknya Diadora lho Pak. Merek terkenal itu Pak. Lisensi dari Italia," terang saya laiknya sales panci.

"Lha nanti kalau kompetisinya sudah bubar, sepatunya buat apa Mam? Kan bapak-bapak jarang main bola. Lagian umur sudah gak nutut Mam," tanya beberapa bapak-bapak.

Mendengar itu, sempat bingung juga saya menjawabnya. Namun, sebagai mahasiswa jurusan Teknik Managemen Industri, saya berusaha memberikan solusi terbaik. (sok nggaya ala eksekutif muda ;)

"Gampang Pak. Disimpen aja. Nanti, kalau ada kompetisi lagi, baru dipake Pak. Sepatu bola kan awet. Atau kalau Bapak mau gantung sepatu, ya disodaqohkan saja. Nanti Bapak dapat pahala. Bagaimana, simpel kan Pak?" jelas saya mantap.

Alhamdulillah, argumen setengah ndobos saya akhirnya diterima. Jadilah sebagian bapak-bapak membeli sepatu bola dari saya. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai PNS bahkan anggota TNI.

***

Saya mengambil sepatu-sepatu itu dari pasar loak alias pasar maling Wonokromo. Saat itu, Wonokromo belum sebagus sekarang. Jalanannya becek dan baunya pesing ke mana-mana.

Meski dijuluki pasar maling, bukan berarti barang yang dijual di Wonokromo semuanya hasil curian. Banyak juga barang-barang halal meski kadang ada reject-annya.

Saya mengambil sepatu dari seorang pedagang asli Madura. Kondisinya masih bagus lengkap dengan kardusnya (padahal kalau urusan kardus, biasanya orang Madura paling primpen. Lumayan dikiloin katanya, he he he. Ini bukan SARA lho. Alhamdulillah sekarang orang Madura banyak yang gak suka kardus, tapi besi tua :).

Seperti saat ngamen, ada kejadian memalukan hingga tak terlupakan ketika saya berjualan sepatu bola kriditan. Tapi, kali ini bukan urusan cewek.

Salah satu customer saya, namanya Pak Wahyudi, mendadak komplain. Takmir masjid ternama di Semampir itu kurang puas dengan barang dagangan saya.

"Mam, sepatu yang kamu jual kemarin ternyata beda warna. Nih, lihat kalau gak percaya. Satunya biru dongker, tapi satunya lagi agak terang. Bagaimana sih Kamu," katanya sembari menunjukkan barang bukti.

"Jleb," suara Pak Wahyudi begitu menusuk kalbu hingga tembus ke pikiran. Kaget juga saya melihat sepatu Diadora beda warna itu. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun. Kok bisa ya?

Saya perhatikan memang warnanya agak beda. Yang kiri lebih cerah sedikit. Wah, rupanya saya kurang teliti saat mengambilnya dari Wonokromo.

"Begini Pak, karena kompetisi sudah dekat, Bapak pakai saja sepatunya. Gak kelihatan kok Pak kalau dari jauh. Lagian keren lho Pak kalau warnanya beda dikit," kata saya dengan wajah sedikit memelas :(

Alhamdulillah akhirnya beliau bisa menerima penjelasan saya. Dosen ITS yang juga pengusaha mesin bubut itu pun memakai sepatunya dengan bangga (baca: terpaksa/tersiksa ;)

Yo ayooo, ayo Pak Wahyudi. Ku ingin, kita harus menang :)

"Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas rejeki yang Kau limpahkan untuk hambaMu yang lemah dan agak ndablek ini."

Cukup lama saya menggeluti usaha dagang sepatu bola kriditan. Selain untuk tambahan uang jajan, sebagian hasil jualan saya buat modal jalan-jalan plus main bola ke Jogja.

Saya pergi ke Kota Pelajar bersama tim kebanggan anak-anak Nginden, Berlian Muda alias Sinar Berlian FC (kayak nama toko emas ya, he he he).

Karena kesibukan dan lain hal, saya akhirnya menutup bisnis sepatu kriditan itu. Saya ganti profesi sebagai wartawan The Indonesian Daily News (koran berbahasa Inggris di bawah naungan Jawa Pos).

Di sinilah saya mengasah skill menulis dan bertemu orang-orang hebat macam Gus Dur, Dahlan Iskan, Asrul Ananda, Dhimam Abror, dll.

Note:
Bagi teman-teman yang ingin meniru strategi bisnis saya dipersilakan alias disumanggakake. Tapi, jangan lupa sesama pedagang harus saling menguntungkan.

Saya sudah siapkan no rek CIMB Niaga untuk urusan fee marketing atau hak cipta perdagangan he he he, bercanda, bercanda ;)

Selamat berjualan dan berolahraga. Semoga panjang umur dan sehat selalu :)

0 Response to "Mencoba Jadi Bakul Sepatu Bola Kreditan"

Post a Comment