Yup, saya tak sependapat dengan Anda yang mengeluk-elukkan aksi penghadangan konvoi moge di Jogjakarta. Menurut saya, konvoi moge mestinya dapat tempat di hati khalayak, bukan malah dihina, apalagi dihujat habis-habisan. Apa pasal? Ini klaim saya:
1. Moge adalah lambang kesuksesan duniawi. Mayoritas pemiliknya adalah orang kaya. Jadi, konvoi moge bisa memotivasi generasi muda untuk semangat bekerja agar punya duit dan beli moge.
2. Berkendara bareng dalam satu atribut adalah bukti nyata kerukunan dan kekompakkan. Ini bisa jadi teladan bagi masyarakat untuk bersatu, apalagi di tengah maraknya aksi gontok-gontokan antar umat beragama dan antar madzab.
3. Konvoi moge di Jogjakarta sedikit banyak memberi dampak finansial bagi Kota Pelajar. Jika yang konvoi 1.000 orang, kebayang kan berapa banyak nasi kucing yang bakal terjual? Belum lagi aneka oleh-oleh seperti bakpia patuk dan kaos Dagadu. (emang pemilik moge doyan nasi kucing? he he he)
Jangan panas ya baca coretan ini. Saya hanya iseng kok. Tidak serius dengan tiga klaim di atas. Seperti kebanyakan Anda, saya juga gilo, eneg, miris, muak, dengan konvoi moge di Jogjakarta.
Sebagai mantan warga Jogja yang tidak bermoge, jujur, saya tidak suka melihat konvoi moge. Saya lebih senang melihat arak-arakkan murid TK pakai sepeda hias (habisnya nggemesin sih...)
--------------
Kembali ke pokok bahasan: perspektif.
Melalui coretan ini, saya menggaris-bawahi bahwa manusia selalu punya perspektif (sudut pandang). Antara isi kepala satu dengan lainnya bisa berbeda. Bergantung pada ilmu dan pengalaman hidup masing-masing.
Misal, bagi pemilik moge, konvoi di Jogjakarta adalah salah satu kegiatan yang perlu dilestarikan. Mereka punya segudang alasan untuk melanjutkan aksi ini hingga kiamat.
Di lain pihak, khususnya masyarakat yang tidak bermoge (seperti saya), konvoi bukan hal bagus, apalagi sampai dikawal bapak-bapak berseragam cokelat.
Pertanyaannya. Jika konvoi moge mengundang beragam komentar, lalu bagaimana dengan miras, rokok, judi, kumpul kebo, riba, poligami, agama, pacaran, demokrasi, dll?
Tentu saja, beda kepala beda jawabannya. Saat Nabi Muhammad SAW terutus 1400-an tahun yang lalu, Abu Jahal dkk menolak mengucapkan syahadat. Alasannya, Abu Jahal enggan menyamakan isi kepalanya dengan isi kepala Nabi Muhammad SAW bahwa "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah pembawa risalahNya."
Yup, mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai utusan = mensinkronkan isi kepala dengan Alquran dan Sunnah.
Dalam perspektif Islam, inilah arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Hidup dalam tatanan yang dibuat oleh Pencipta langit bumi dan segala isinya.
Merdeka....
17 Agustus 2015
Taman Suropati, Jakarta
0 Response to "Seharusnya Kita Dukung Konvoi Moge"
Post a Comment