Menulis

Menulis

18 Nyawa untuk 1 Keputusan


Minggu (6/12), menjadi hari nahas bagi belasan penumpang metromini di Angke, Jakarta Utara. Mereka mendadak tewas akibat disambar kereta api. Bus mungil yang mereka tumpangi nekat menerobos pintu perlintasan KA.

"Duar", benturan besi lawan besi terdengar keras. Metromini pun terseret hingga 200-an meter. Sesaat kemudian, mayat bergelimpangan di TKP. Cipratan darah menghiasi lokasi kejadian. Aroma anyir pun semerbak menusuk hidung.

Beberapa potong tubuh korban ditemukan berserakan. Petugas dibantu warga memunguti jasad dan serpihan tubuh manusia. Sejumlah korban luka pun dirujuk ke rumah sakit.

Semua kengerian itu terjadi hanya karena Asmadi membuat satu keputusan ceroboh. Palang pintu KA sudah tertutup. Bunyi kloneng-kloneng terdengar nyaring. Jarak KA pun hanya 50-an meter.

"Yang penting cepet nyampe," demikian suara di otak Asmadi.

Adrenalin yang mengalir deras membuat Asmadi gelap mata. Injak gas, banting setir, dan wuuzz, metromini sukses menyelip di antara palang perlintasan. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Dunia mendadak gelap dan cerita kehidupan berubah 180 derajat.

Puluhan anggota keluarga menangis meraung-raung. Mereka nyesek karena kehilangan sanak saudara. Korban luka juga mengalami trauma fisik dan psikis.

Asmadi sendiri harus luka parah di rumah sakit. Belum sempet dia pulih, polisi sudah bersiap mengirimnya ke penjara. Sementara pengusaha metromini "nangis darah" karena rugi ratusan juta rupiah.

Andai saja Asmadi tak terseret adrenalin. Andai saja Asmadi mau sabar. Andai saja Asmadi mau berpikir panjang. Andai saja Asmadi tidak khilaf, mungkin tragedi Angke bisa dihindari.

-------

Dulu, saat masih jadi wartawan kasus kriminal, saya sering bertanya pada pelaku kejahatan. "Mengapa Anda tega melakukan itu?"

Jawaban para penjahat pun macam-macam. Tapi, ujungnya satu, "Saya khilaf."

Bagi mereka yang biasa berpikir panjang, khilaf menjadi barang langka. Mereka sangat hati-hati dalam membuat keputusan. Sebaliknya, bagi orang yang malas berpikir, khilaf jadi barang murah, bahkan gratis. Sedikit saja ada masalah, khilaf dipilih jadi solusi.

Khilaf hingga buru-buru memutuskan untuk bercerai.

Khilaf hingga tega mengusir anak dari rumah.

Khilaf hingga memaki-maki orang lain.

Khilaf hingga membentak anak-anak.

Khilaf hingga menganiaya orang lain.

Bersyukur bagi Anda yang kuat dan tak gampang khilaf. Musibah bagi mereka yang malas berpikir dan mudah khilaf.

Semoga Sang Maha Sabar melindungi kita dari gelap mata. Aamiiin YRA

0 Response to "18 Nyawa untuk 1 Keputusan"

Post a Comment