Menulis

Menulis

Kisah Luar Biasa Sahabat Saya Bu Widia

Alhamdulillah saya diberi kesempatan Allah bisa mengenal banyak pakar pendidik. Salah satunya, Bu Widia. Akun Fb beliau Widianingsih Idey Widia. Beliau menjadi guru sejak tahun 2000. Sebelum ikut Program Pelatihan Guru dan Orangtua (PPOT), Bu Widia mengaku banyak melakukan kesalahan. Berikut secuil coretan yang beliau tulis di SOS, grup WA yang dihuni banyak guru dan orangtua:

- Seorang Ibu bertanya kepada Bu Widia:

Aslkm wrb...bu widia ad yg mau saya tanyakan. Bagaimana mengatasi pola belajar yg dia susah hafal tp cepet lupa, mhn pencerahannya?

- Jawaban Bu Widia:

Hmhm masih pakai ya bu cara belajar dengan memaksa anak menghapal?

Kalau sudah hapal lantas ibu mau apa?

Apakah anak bahagia dengan yang dihapalnya?

Apakah anak butuhkan untuk hidup hapalan itu?

Atau apa contohnya supaya lebih spesifik nanti jawabnnya?

Saya dulu adalah guru yang amat sangat salah ngedidik anak orang. Saya katakan, tangan dilipat, kakinya rapat, mulut dikunci, kuncinya buang. Hanya ibu yang bicara, anak anak diaaaammm semua.

Do'a sebelum makan dihapalkan, namun saat hendak makan anak-anak tak berdo'a.
Angka 1-100 dihapalkan, huruf A-Z juga dihapalkan. Tapi akibat kesalahan saya itu, murid TK saya yang paling pintar, paling nurut, paling baik, jadi benci sekolah saat SD, mulai memberontak, menolak sekolah.
Semua gara-gara saya gurunya yang bodoh ini, juga gara-gara orangtuanya yang memaksa anak sesuai keinginan mereka, bukan dididik sesuai aturan Allah.

Saya sudah mengalami masa pahit itu, bertaubat tak mau ada lagi anak-anak yang mengalami hal serupa.

Nah, akibat kebodohan dan kesalahan saya sebagai guru dan hari ini sudah jadi orangtua, apa yang ada di dalam ajaran agama saya yaitu, Belajar itu sepanjang hayat, Belajar itu dari buaian hingga liang lahat, Belajar itu wajib bagi laki laki muslim dan perempuan muslimat. Jadi tidak teraplikasikan.

Tak sedikit anak-anak ketika orangtuanya bilang ayo belajar kan mau ujian?

Gak ah belajarnya udah di sekolah.

Belajar terkungkung pada satu bangunan kotak, berhadapan dengan buku tulis, buku paket, LKS. Belajar jadi sesuatu yang menyebalkan, itu cerita para orangtua alumni TK yang dulu saya mengajar di sana.

Fitrah Belajar anak semakin hari semakin hilang, bukan semakin bergairah. Padahal dalam ajaran agama saya jelas keterangannya begitu. Bahkan minggu lalu saat SOS di Salsabila ada orangtua yang heran, masa saya harus belajar lagi, cukuplah anak yang belajar, saya tugasnya kan mencari nafkah.

Ayah gak mau belajar, Ibu pun demikian seolah olah setelah jadi orangtua gugurlah kewajiban belajar. Gara-gara saya lagi, guru yang salah ini.

-----

- Penanya kembali bertanya:

Pengalaman saya juga trus solusinya gmn bu wid biar ankku yg kecil msh bisa diperbaiki cara belajarnya sedangkan kondisi lingkungan di sekolah msh menuntut utk begitu?

- Bu Widia menjawab:

Kalau mau jawaban ekstrim ya teh, mumpung di Betawi solusinya pindah sekolah, cari sekolah yang mendidik anak sesuai fitrah.

Lalu, di rumah buat semua berubah, air tumpah bisa dijadikan sarana belajar seperti tulisan yang dibagikan pak Gem waktu itu.

Menyapu halaman, Beres beres rumah, mandi, makan, mencuci piring, main mainan tradisional semua jadikan sarana belajar.

Kegiatan memasak misal bisa dimanfaatkan untuk belajar matematika, menakar, menimbang, membandingkan, menjumlahkan.

Segala aktivitas membangun fitrah belajar anak

Syaratnya mau nggak kita repot?

Karena untuk itu semua kita harus kerja keras, gak bisa santai.

- Bu Widia menambahkan:

Alhamdulillah. Murid saya yang pertama saya ajar, usia mereka sekarang 21 tahunan, kalau bertemu dengan salah satu dari mereka atau orangtua mereka, saya suka minta maaf. Saya harus minta maaf.

0 Response to "Kisah Luar Biasa Sahabat Saya Bu Widia"

Post a Comment