Menulis

Menulis

Balas Dendam Tak Selalu Lebih Kejam

Saat kuliah, saya sering sepak bola. Maklum, namanya juga cowok, pasti suka bermain bola. Entah itu bola sepak, bola kasti, bola tenis, bola pingpong, bola basket, bola sodok, atau bola-bola lain yang asyik untuk dimainkan :D qiqiqi...

Salah satu lapangan favorit saya adalah samping Masjid Al-Qudus, Semolowaru Elok, Surabaya. Di sana, hampir setiap sore digelar sepak bola. Pesertanya bebas. Siapa saja boleh ikut. Yang penting punya nyali.

Kok punya nyali? Ya, karena pesertanya berasal dari kalangan apa saja, tak terkecuali tukang becak, penggeledek sampah, dan kuli bangunan. Seperti kita ketahui, tiga profesi ini membuat orang "berkaki besi".

Suatu sore, saya unjuk skill di depan puluhan pasang mata (gayane koyok pemain top :D Laiknya David Ginola, saya meliuk-liuk di lapangan hijau. Hasilnya, beberapa pemain lawan tergoda untuk full body contact.

"Prak", suara dua kaki beradu kencang. Kaki kanan saya langsung lunglai tak berdaya. Saya kesakitan dan harus dipapah keluar lapangan. Saya tatap wajah musuh yang ternyata seorang kuli bangunan. Hebat, meski tak pakai sepatu (nyeker), dia sukses melukai engkel saya.

Pulang dari lapangan, almarhumah ibu menyambut dengan garang. Beliau justru menyalahkan saya karena sembarangan main bola.

"Mangkane lak bal-balan ati-ati. Ojok sembrono. Lak aboh ngene iki sopo sing soro?" kata ibu tegas.

Satu bulan lebih saya menepi dari lapangan hijau. Berat rasanya 30 hari sama sekali tak meyentuh si kulit bundar. Lebih perih lagi, teringat wajah kuli yang garang menakutkan.

"Kamu telah melukaiku. Tunggu pembalasanku," gumam saya dalam hati.

Darah muda saya tak terima menjadi korban gaprakan seorang kuli bangunan. Apalagi, dia melanggar aturan FIFA, yaitu tak memakai sepatu bola.

Setelah sembuh, saya kembali ke lapangan Al-Qudus. Saya lihat si kuli bangunan masih beraksi. Rupanya proyek pengerjaan rumah di Semolowaru Elok belum selesai. Dengan mantap, saya masuk ke lapangan hijau. Mata saya tajam menyorot si kuli bangunan.

"Priiittt", suara peluit dibunyikan. Saya langsung menghambur ke posisi sayap tempat si kuli bangunan beraksi. Tanpa pikir panjang, saya tunggu kesempatan untuk balas dendam.

Beberapa menit kemudian, peluang emas datang. Dia menggiring bola menyusuri pinggir lapangan. Dengan sigap, saya ayunkan kaki ke arah si kuli. "Prak", kembali kaki saya beradu dengan kakinya. Luar biasa, meski nyeker, si kuli tetap perkasa. Dia bisa bangkit dan kembali menggiring bola. Sementara kaki saya kesakitan, meski tak sampai bengkak.

"Repot bal-balan karo kuli. Kalah menang tetep nyirik," kata saya dalam hati.

Usai kejadian itu, saya tak lagi mau menyakiti si kuli. Ternyata, balas dendam tak selalu lebih kejam. Apalagi, kalau lawannya terlalu kuat :D qiqiqi...

Balas dendam hanya menyakiti diri sendiri. Mending memaafkan agar hati tetap bersih. Seperti ajakan Allah di Surat Asy-Syura: 40.

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

Lalu bagaimana kabar si kuli? Apakah masih bermain bola? Semoga saja ;) Maksudnya semoga gak ada korban lagi :D

0 Response to "Balas Dendam Tak Selalu Lebih Kejam"

Post a Comment