Menulis

Menulis

Pelajaran Hidup dari Fotografer Tangguh


Hari masih pagi, ketika seorang perempuan paruh baya mengemas berbagai peralatan fotografi. Rusidah namanya. Sosoknya kecil bertubuh kurus yang selalu siap menjemput rezeki dengan sigap.

Hari itu, tanggal 5 Januari 2015, sekitar jam 09.00 WIB akan dilangsungkan pelantikan puluhan Kepala Desa oleh Bupati Purworejo, Jateng. Rusidah berniat ke sana menjual jasa pemotretan.

Tanpa mengeluh, Rusidah membawa Rol Kabel, Tripot, Kain Background, Mesin Printer Portable, dan kamera DSLR Canon Eos 550D kesayangannya.

Ada yang unik dengan cara Rusidah menggaet customer. Tak hanya menjual foto hasil jepretan, Rusidah berbagai trik, termasuk mendemonstrasikan cara memotret di depan kain backround atau di outdoor.

Rusidah sama sekali tak canggung menjawab aneka pertanyaan seputar dunia fotografi. Baginya, berbagi ilmu dan pengalaman adalah cara dirinya meraih untung di akhirat.



Seperti fotografer lainnya, Rusidah tangkas memainkan kamera. Matanya tajam mengincar obyek melalui lubang view finder. Lengan kanannya yang tak sempurna bukan halangan untuk membidik sasaran. Dia gunakan lengan itu untuk mengabadikan momen-momen indah.

"Klik", suara shuter speed berbunyi lirih. Dilihatnya hasil bidikan di pendopo kabupaten. Dibukanya tutup memory card di badan kamera DSLR, lalu dia pindahkan ke dalam lubang printer portable. Dalam waktu singkat, foto sudah tercetak dalam kertas.

“Cukup Rp.10 ribu saja untuk foto ukuran 4R langsung jadi monggo. Monggooo bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik, monggo foto langsung jadi," demikian suara khas Rusidah menawarkan jasanya.

Nampak, peluh bercucuran di sekitar leher perempuan yang kedua tangannya tak sempurna ini. Baginya, rejeki halal lebih utama daripada meratapi nasib.

“Alhamdullilah Mas, hari ini lumayan banyak yang mau saya potret, beberapa memang merupakan kenalan dan pelanggan yang sudah tahu saya, jadi tinggal mengatur urutan saja, dan sabar meyakinkan mereka!” ujarnya bersemangat.



Sudah puluhan tahun Rusidah menjalani aktifitas seperti ini. Meski suaminya seorang aparat kelurahan, namun sebagai ibu, jiwanya terpanggil untuk mandiri.

“Selagi saya bisa saya akan terus berusaha, biar anak saya bisa mendapat kualitas hidup yang lebih baik.”

Rusidah lahir pada 3 Agustus 1968, dari pasangan Badawi-Tasiyah. Beliau merupakan anak ke 3 dari 5 bersaudara. Kelainan dari kecil mengakibatkan kedua tangannya tak sempurna dan harus diamputasi.

“Sudahlah jangan tanya soal tangan saya.” katanya agak keberatan.

Meski dalam kondisi yang tak sempurna, Rusidah kecil tak lantas manja dan selalu menggantungkan pertolongan orang lain.

“Dari apapun yang saya bisa, saya lakukan sendiri, cuma menali rambut yang harus dibantu orang lain, selebihnya alhamdullilah saya bisa melakukan sendiri," tuturnya tersenyum.

Rusidah kecil tumbuh dan melewati hari harinya seperti kebanyakan anak normal lainya. Bersekolah, bermain, mengaji, layaknya anak-anak desa sebayanya.

“Paling olah raga saja saya agak di eman sama pak guru, terutama pas olah raga meniti bambu atau papan, kan takut jatuh bisa cedera.”

Selebihnya Rusidah merasakan sebagai kebiasaan yang harus dilewati meski beda dengan teman-temannya. Menulis, memakai baju, sepatu juga dengan sendirinya seolah tak jauh beda dengan teman-temannya. Sampai pada suatu ketika seorang pejabat dari pusat melihat keadaannya, lantas turun perintah untuk memberikan langkah khusus buatnya.

“Saya harus ke sebuah sekolah yang katanya khusus buat anak seperti saya. Tapi saya merasa bisa dan biasa kok. Jadi tak perlu jauh-jauh sekolah selama di sekitar rumah masih bisa.”

Lulus SD, Rusidah melanjutkan ke SMPN 2 Purworejo, lalu SMA Muhammadiyah Purworejo.

“Baru lulus SMA ada tawaran buat kelanjutan ke depan, saya siap dan mau berangkat ke RC (Rehabilitasi Centrum) yang berada di Kota Solo.”

Tahun 1990, dirinya berangkat ke Solo dengan niat kuat mengebor ilmu menjahit yang memang di sediakan dalam pelatihan dan trainning di sana. Namun begitu ada alternatif lain, salah satunya fotografi, dirinya mulai berpikir.

“Alangkah baiknya jika saya punya keterampilan lebih dari satu, menjahit kan sudah punya dasar pas di Purworejo dulu, fotografi sangat menarik buat saya dan saya belum tahu ilmunya, makanya saya segera memilih fotografi saja waktu itu,” kenangnya.

Dari teori demi teori dan praktik kecil di sana, Rusidah mampu mengoperasikan kamera SLR yang kala itu masih menggunakan rol film. Perlu ketekunan untuk belajar memasang rol film, memutar cincin diafragma, dan menyetel kecepatan sebelum menekan tombol rana.

“Ya semua itu butuh proses mas. Saya yakin bisa, alhamdullilah nyatanya selalu bisa dengan sugesti positifm kecuali memasang tali rambut kepala bagian belakang saya hahahaha, meski saya sugesti bisa ternyata ya memang belum bisa ha ha ha..," ujarnya.

Selesai pelatihan fotogragi, Rusidah baru berpikir bagai mana dirinya bisa punya kamer.

“Ini yang paling sulit menjawabnya kala itu. Mau meminta modal ke mana saja masih bingung. Mau ngajukan proposal ke Dinas terkait juga belum ada bayangan proposal itu membuatnya caranya bagaimana?" tutur Rusidah.

Saat pulang ke kampung halaman di Purworejo, kebingungan itu terjawab. Beruntung seorang Kepala Sekolah yang memiliki kamera merk Yashika memberikan pinjaman dengan waktu tak terbatas.

“Beberapa tahun saya dipinjami tanpa harus membayar ataupun batas kapan untuk dipulangkan, dengan kamera ini saya berusaha harus memaksimalkan untuk mengasah skill dan mencari rezeki,” kata Rusidah.



Pagi berangkat menyusuri jalanan desa dari kawasan Desa Bringin, Desa Nggrantung, kemudian Desa Bayan, kala itu dijajal sebagai langkah perdana menjemput rezeki. Dengan menenteng kamera pinjaman yang berisi 1 rol fil penuh, Rusidah berharap semua orang atau kerumunan yang ditemuinya mau di foto dan membayarnya sebagai uang lelah.

Puluhan kilometer harus dilalui dengan jalan kaki, dan Rusidah selalu berusaha bersabar. Mungkin ibarat awal perkenalan, langkah ini cukup efektif untuk membuat dirinya makin akrab dikenal.

“Eh kae mbak e tukang foto wis teka, ayo sing arep do foto (Eh mbak yang tukang foto sudah datang, ayo yang mau foto segera bersiap).”

Sesekali satu dua warga desa antusias menanti dirinya untuk membeli jasa fotonya. Dan ini berjalan beberapa tahun harus dilaluinya dengan sabar. Kerumunan acara apapun didekatinya, mulai dari acara non formal seperti hiburan di desa sampai acara formal di kantor kantor. Ternyata ini semua efektif memperkenalkan dirinya untuk mencari rezeki di bidang fotografi.

Suatu ketika sitri seorang pejabat di Kabupaten Purworejo melihat etos kerja dan semangat Rusidah yang bertubuh kurus namun punya semangat baja. Pada tahun 1994, Rusidah mendapat bantuan kamera merk Pentax dan proyek pemotretan setiap ada acara di kalangan ibu-ibu pejabat.

“Dari ibu-ibu PKK, Dharma Wanita dan acara kantoran selalu memakai jasa saya. Harga borongan saya kenai nilai Rp 35.000, kalau per jepret ya Rp. 1.000 waktu itu," paparnya.

Dengan harga 1 rol film waktu itu masih sekitar Rp 3.500 dan biaya cetak masih Rp. 125 untuk foto ukuran 3 R, Rusidah mampu mengambil untung lumayan.

Buah ketekunan dan sabar menghadapi cobaan itu mulai menuai simpati dan rezeki yang bertubi-tubi diberikan oleh Tuhan.

“Tak pernah mengeluh, ini semua Tuhan yang memberi, kita harus selalu khusnudzon pada Tuhan, tapi ingat harus sabar dan bertarung keras terlebih dahulu,” jelas Rusidah.

Tahun 1998, Rusidaj menikah dengan seorang lelaki yang bisa menerima dirinya apa adanya. Pria itu adalah Suradi asal Klaten. Dari benih cinta itu lahirlah seorang buah hati lelaki lahir bernama Nugroho Eman Wibowo.

--------

Simpati, empati dan rezeki itu seperti berakumulasi setiap saat, dari beberapa dermawan, rezeki itu terus saja mengalir, alat-alat penunjang fotografi, proyek pemotretan dan jalan terang dibuka oleh-Nya.

Pimpinan produk kamera DSLR yang recomandedpun tersentuh dengan kegigihan ibu satu anak ini, seperangkat mesin printer portable pun diberikan kepadanya.

“Era digital dengan kamera DSLR memang makin memudahkan kerja saya, auto focus, dan percepatan proses cetak ke kertas dengan kapasitas jumlah jeperetan jelas mankin memanjakan kita yang kerja difotografi," katanya.

Rusidah sempat kedodoran ketika belum memiliki kamera DSLR. Saat memasang rol film, dirinya selalu kehilangan momen saat mendapat order memotret pernikahan yang sakral.

“Saya sering dikomplian tukang rias manten, selalu ketinggalan pas harus ganti rol film," kenangnya.

Berbagai acara TV swasta pun mengundang dirinya untuk jadi narasumber dan bintang tamu. Semua karena kegigihan dan daya juang nya yang kuat.

Bertemu Presiden SBY dan ibu negara dalam sebuah acara di Istana Negara sambil makan Soto menjadi momen tersendiri buat seorang Rusidah. Sebuah mini Studio berdiri dikelolanya, dan sebuah rumah kecil sedang dibangunnya. Kini banyak orang kagum dengan dirinya.

Sosok Rusidah telah menyindir kita agar selalu bersyukur dan semangat menjalani hidup. Tubuhnya memang kurus dan terlihat rapuh, namun dalam dirinya ada sesuatu yang mampu membangkitkan spirit hidup, inspirasi dan motivasi yang dahsyat buat orang lain.

-------

Artikel ini ditulis oleh sahabat saya, Agam Ninoy.

0 Response to "Pelajaran Hidup dari Fotografer Tangguh"

Post a Comment