Menulis

Menulis

Balada Pemuda Penarik Gerobak Sampah


Saya bersyukur punya sahabat seperti Kusaini. Teman SD saya itu mirip sekali dengan almarhum Taufik Savalas. Wajahnya selalu sumringah, sifatnya pun gembira ria.

Padahal, Kusaini hanyalah anak seorang anggota pasukan kuning (sebutan untuk para pekerja lepas Dinas Kebersihan, khususnya tukang sapu dan penarik gerobak sampah).

Setiap kali bapaknya berhalangan kerja, Kusaini yang serta merta menggantikannya. Dia tidak malu mengikuti jejak profesi sang bapak.

Nah, jika Kusaini sedang bertugas, saya sering kasihan melihatnya. Waktu itu kami sama-sama duduk di bangku SMA. Saya di SMAN 14, Kusaini di SMA Muhammadiyah.

"Ayo Mam, katanya mau bantu-bantu. Besok pagi kita berangkat ya. Kita beroperasi di sekitar kampus Untag," kata Kusaini suatu hari.

"Siappp," kata saya semangat.

Karena sekolah kami masuk siang, kami bisa menarik gerobak pada pagi hari. Tidak ada bayaran uang dari bapaknya Kusaini. Kami paling-paling dibonkan makan pagi di warung sekitar Kebun Bibit.

Banyak pengalaman menarik ketika saya dan Kusaini mengambil sampah-sampah dari perumahaan penduduk.

Suatu ketika Kusaini bilang, "Mam, kamu tahu nggak, di bak sampah banyak bingkisan mungil. Kalau tidak percaya nanti aku kasih tahu barangnya."

Penasaran juga saya dengan bingkisan mungil. Dilihat dari namanya keren sekali seperti hadiah lebaran atau ulang tahun. Saya semakin tidak sabar untuk melihatnya.

Setapak demi setapak, kami mendorong gerobak sampah menyusuri jalan dekat kampus Untag. Beberapa bak sampah satu per satu kami bersihkan, tapi tidak juga muncul bingkisan mungil yang dimaksud.

Sampai suatu ketika, kami mampir di tempat sampah perumahan belakang Masjid Untag.

"Ini lho Mam bingkisan mungil," kata Kusaini sambil menjumput pembalut wanita bekas pakai.

Kurang ajaaaarrrrrrrrr, ternyata Kusaini ngerjain saya. Saya kira bingkisan mungil itu berisi makanan, pakaian atau mainan. Ternyata barang begituan. Dasar Kusaini. Dasar Taufik Savalas. ;)

Meski kami sering bercanda kelewat batas, tapi kami alhamdulillah tidak pernah bertengkar. Kalau kata orang kami punya chemestry yang mirip. Sama-sama dari keluarga sederhana yang mimpi bisa menggapai masa depan cerah.

Selain bingkisan mungil, hal lain yang masih teringat sampai sekarang adalah ritual memakai pakaian kebesaran. Yup, seragam Pasukan Kuning lengkap dengan kaus tangan, topi, dan penutup hidung.

Yang menarik, seragam tersebut banyak yang tidak dalam keadaan sempurna. Kadang bolong, kadang resletingnya ngadat, dan yang pasti aromanya khas. Pokoknya sama sekali tidak nyaman dipakai he he :)

Pernah suatu hari Kusaini curhat tentang beban psikologis menjadi anggota Pasukan Kuning. Dia bilang, "Lihat Mam, orang-orang banyak yang menutup hidung pas kita lewat mendorong gerobak. Padahal mereka sendiri yang bikin sampah. Tapi mereka tidak mau mencium baunya."

Mendengar itu saya menjawab ringan sembari berkelakar, "Kita sendiri juga gak mau mencium baunya kok. Lha ini buktinya kita pakai masker, he he he."

"Oh iya iya, bener juga kamu, he he he," katanya sembari menepuk pipi kiri saya berkali-kali (ritual yang sejak dulu sering dia lakukan :)

Meski dalam kesederhanaan, saya melihat banyak dari mereka yang hidup bahagia. Tawa canda kerap menghiasi hari-hari di mana mereka sibuk bekerja.

Jika ada yang pulang narik gerobak bawa makanan, kami sering membagi-bagikannya kepada sesama anggota Pasukan Kuning yang ngumpul di Depo Manyar.

Pernah suatu saat kami mendapat beberapa box donat lisensi Amerika. Sebuah gerai di daerah Ngagel menghadiahkannya untuk kami. Lezatnya minta ampun. Maklum, seumur-umur kami waktu itu tidak pernah membelinya.

Ada dua alasan utama saya mencoba profesi sebagai pasukan kuning. Pertama untuk membantu teman.

Yang kedua untuk menjaga stamina tubuh. Dengan mendorong gerobak, badan menjadi berkeringat dan kuda-kuda pun kokoh. Kondisi ini sangat membantu saya dalam mempertahankan fisik sebagai pemain bola kurang profesional ;)

Hanya sebentar saya menikmati profesi sebagai Pasukan Kuning cabutan. Puas mencoba pekerjaan itu, saya beralih jadi pedagang es legen. Kebetulan ada teman yang mau modali buka lapak di dekat terminal Bratang.

Ada banyak pengalaman seru dan tak terlupakan ketika saya menjadi pedagang es legen. Kapan-kapan saya tulis kisahnya untuk Anda (InsyaAllah). Semoga bisa menginspirasi :)

Oh ya, Kusaini sekarang sudah jadi Pembantu Rektor di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Bapak satu anak ini juga sukses menyabet gelar S2 dari Universitas Airlangga.

Meski sudah tidak lagi jadi anggota Pasukan Kuning, kenangan indah itu tetap mengendap di benak kami. Sebuah profesi terhormat karena menjaga lingkungan tetap bersih, jauh dari bau dan penyakit.

Salam bersih selalu :)

0 Response to "Balada Pemuda Penarik Gerobak Sampah"

Post a Comment