Menulis

Menulis

Dari Bisnis Online, Jalan-jalan ke Luar Negeri



Beberapa hari setelah menggelar resepsi pernikahan, saya mengajak istri makan nasi goreng lesehan di pinggir jalan Kota Kediri.

Lho kok lesehan pinggir jalan Cak Gem? Seharusnya kan bulan madu ke Bali, Eropa, atau Hawaii? Hus, aku ora nduwe duit rek :)

Saat itu ekonomi saya sedang terpuruk. Tempat kerja saya (the Indonesian Daily News) mendadak dibekukan sama Bos Jawa Pos, Pak Dahlan Iskan. Alasannya? Tanya sendiri sama beliau. Saya enggan membahasnya di sini :)

Jangankan modal bulan madu, uang buat ngekos atau ngontrak rumah sederhana saja saya tidak punya.

Saya justru dihadapkan pada utang Rp 3 juta yang harus dilunasi dalam waktu setahun.

Uang itu saya pinjam dari bibi saya bernama Bulik Win, adiknya bapak. Untuk apalagi, kalau bukan tambahan modal beli mas kawin.

Lho nikah kok utang to Cak? Opo ora saru kuwi? Wis, jangan banyak tanya. Dibaca saja ceritanya he he ;)

Jangan dikira wartawan itu duitnya banyak, apalagi wartawan jaman dulu. Yang ada banyak liputan dan banyak berita. Ibaratnya, wartawan itu berjuang untuk kebenaran, tapi sering kali keteteran jika berurusan dengan dapur sendiri.

Tapi kok ada wartawan yang kaya raya Cak Gem?

Ada tiga alasan mengapa wartawan junior bisa kaya.

Pertama, karena memang anak orang kaya. Meski nggak jadi wartawan, ya tetep banyak duit.

Kedua, karena punya usaha sampingan. Dengan membuka bisnis, dia punya uang tambahan untuk beli ini dan itu.

Ketiga, karena dapat jali alias amplop alias suap alias sogokan. Sudah bukan rahasia, sebagian wartawan sengaja melibatkan diri dalam proyek-proyek cincai demi mendulang rupiah.

"Celakanya", saya tidak termasuk dalam tiga golongan itu. Alhamdulillah istri saya bisa menerima keadaan tersebut (meski ya agak berat-berat gitu :)

Wis mandeg, stop. Tidak usah panjang lebar membahas nasib wartawan. Kapan-kapan saya cerita lebih detil tentang kehidupan kuli tinta. Suka dukanya, harapannya, tarik ulurnya, dsb.

Kembali ke nasi goreng lesehan pinggir jalan. Malam itu saya bertanya kepada istri, "Apa cita-cita kamu?"

"Aku ingin punya butik dan bisa jalan-jalan ke luar negeri," katanya mantap.

Wakwauuuuww, jawaban yang membuat bulu kudu saya langsung merinding.

Bagaimana caranya bisa punya butik? Berapa modalnya? Weleh, weleh, puyeng sirahku. Belum lagi mikirin biaya ke luar negeri. Ampun Gustiiiii. Paringono kuatttt ;)

Namun, seperti kata orang bijak, tak ada yang impossible jika kita berdoa dan berusaha. Saya pun mempraktikkan dua langkah manjur itu.

Singkat cerita, ketika kami tinggal di Jogja (karena ditugaskan kantor), saya butuh uang untuk beli komputer. Alat canggih itu saya perlukan buat nulis berita, buku, dan mengolah foto. Alhamdulillah, mertua mau minjami uang 2,5 juta.

Setelah beberapa bulan, alhamdulillah saya bisa melunasi utang tersebut. Namun, di luar dugaan, mertua menolak uang itu.

"Sudah, uang itu buat kalian saja," kata bapak mertua.

Wah, rejeki nomplok nih. Tapi, karena saya terikat janji dengan diri sendiri, saya juga menolak uang itu. Saya merasa tidak berhak menerimanya karena bukan hasil keringat sendiri (idealis bleh, namanya juga wartawan :)

"Saya tidak mau menerima uang itu. Tapi, kalau kamu mau, ya silakan. Itu hak kamu," kata saya kepada istri.

Lantaran tidak punya pilihan lain, akhirnya istri menerima uang tersebut. Dari uang itu, dia mulai bisnis kecil-kecilan. Dia kulakan pakaian di Pasar Beringharjo untuk kemudian dijual di Kediri.

Alhamdulillah, bisnis kelas plankton itu pelan tapi pasti menghasilkan uang yang lumayan. Meski demikian, istri saya tidak berniat membesarkan usahanya. Dia lebih senang bekerja di perusahaan dengan gaji yang tidak seberapa.

"Mending kamu bisnis saja. Saya yang kerja. InsyaAllah kalau untuk makan dan bayar kontrakan, gaji saya masih cukup," kata saya kepada istri.

Mendengar itu, istri saya tidak bergeming. Dia tetap memilih fokus untuk bekerja. Alasannya satu, kalau bekerja uangnya pasti. Kalau dagang, bisa untung, bisa rugi.

Pada akhir 2006, kami pindah ke Jakarta. Saya ada panggilan kerja di koran Seputar Indonesia (MNC Group). Alhamdulillah, gaji saya sedikit lebih besar dibanding saat ikut Jawa Pos Group. Tapi, tetap saja nilainya kecil dibanding yang besar :)

Sama ketika saya masih di Jogja, saya meminta istri fokus bisnis daripada cari kerjaan. Tapi lagi-lagi istri menggelengkan kepala. Alasannya tetap, bekerja uangnya lebih pasti.

Dua tahun istri saya bekerja di sebuah mini market dekat rumah. Badai datang ketika dia bermasalah dengan salah satu atasannya.

Suatu hari dia izin cuti untuk pulang ke Kediri. Awalnya si bos mengabulkan cuti tersebut. Namun, ketika mendekati hari H si bos menolak memberi libur panjang. Alasannya, mini market sedang ramai,-ramainya.

Bisa ditebak, istri saya kecewa berat hingga pulang dalam keadaan meneteskan air mata (kayak di sinetron ya :(

Melihat itu, ego saya sebagai laki-laki dan suami tak terbendung lagi. Saya tidak lagi mau menerima alasan istri untuk tetap bekerja.

"Sudah, sekarang kamu taati perintah saya. Kamu harus resign sekarang juga. Tidak ada tapi-tapian. Masalah makan dan uang kontrak tidak usah khawatir. Gajiku insyaAllah cukup," kata saya tegas.

Benar saja, dengan berat hati, istri saya menulis surat resign dan berhenti kerja hari itu juga. Alhamdulillah, saya senang akhirnya istri tidak lagi menyandang status karyawan :)

Saya katakan kepada dia bahwa selama masih ikut orang, tidak akan ada kebebasan waktu dan finansial. Dengan kata lain, hidup akan selalu terikat aturan kantor. Senang atau tidak senang. Suka atau tidak suka. Berat atau lapang, kita harus nurut.

"Sekarang kamu fokus bisnis. Saya akan dampingi kamu semaksimal mungkin untuk sukses. Semoga mimpi kamu punya butik dan jalan-jalan ke luar negeri bisa terwujud," kata saya.

Sejak itu, setiap libur kerja, saya ajak istri blusukan ke pasar-pasar tempat orang kulakan. Dari mulai Tanah Abang, Pasar Uler, Taman Puring, Pasar Cipulir, Pasar Pagi, Pasar Sore, Asemka, Pasar Jatinegara, Blok M, Pasar Mangga Dua, Pasar Senen, Poncol Square, dll. (lama-lama saya mirip kenek angkot ya he he :)

Saya juga sering mengajak istri liputan event-event bisnis. Saya kenalkan dia dengan pengusaha-pengusaha, baik yang muda maupun yang senior.

Saya juga memberikan banyak artikel, buku-buku, maupun video-video bisnis (kebanyakan download dari internet atau pinjam dari teman. biasa gan, cari yang gretongan he he :)

Dia juga saya ikutkan seminar-seminar bisnis, terutama yang tidak membayar (ngirit maneh. prinsip ekonomi bro :)

Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, usaha Dewi Butiq yang dia kelola semakin berkembang. Dari mulai sales door to door, buka lapak pinggir jalan (sampai dimusuhi Satpol PP), hingga sekarang merambah ke dunia online.

Terbaru, Dewi Butiq bertransformasi ke www.belibaca.com dengan konsep online shop dan media.

Dari bisnis pakaian itu, alhamdulillah, dia bisa mewujudkan dua mimpinya: punya butik dan jalan-jalan ke luar negeri.

Akhir tahun 2012, alhamdulillah dia punya rejeki untuk daftar haji. InsyaAllah dia akan ke Baitullah pada tahun 2022.

Awal 2014, alhamdulillah, di luar dugaan, dia bisa umroh bersama kedua orangtua dan adik bungsunya.

Tidak lama setelah itu, alhamdulillah, dia bisa jalan-jalan ke Thailand bersama sahabat-sahabatnya.

Hari ini, Rabu 15 Oktober 2014, istri saya terbang ke Singapura dan rencananya langsung bablas ke Malaysia.

Yang menarik, semua biaya ke luar negeri 100% adalah hasil karyanya sendiri, bukan uang dari saya.

Tahun depan, dia berencana ke Korea atau Jepang. Apalagi kalau bukan karena terpengaruh drama Korea yang terkenal romantis dan pemainnya cakep-cakep :)

Dia juga bermimpi, suatu saat (masih tetap dengan biaya sendiri) bisa menapakkan kaki di Milan dan Paris, dua kota yang menjadi pusat mode dunia.

Wow, benar-benar mimpi yang indah :)

Terbanglah yang tinggi istriku. Gapailah mimpi-mimpimu.

Maafkan aku yang tidak bisa memberimu banyak uang.

Maafkan aku yang sering bersikap tegas kepadamu.

Maafkan aku yang kerap berargumen keras denganmu.

Maafkan aku yang kadang membiarkanmu dalam situasi sulit.

Percayalah, aku lakukan semua itu untuk membuatmu semakin kuat, semakin efektif, semakin efisien, semakin detil, semakin mawas diri, semakin dewasa, semakin bijak, semakin dermawan, semakin menghargai orang lain, semakin rendah hati, dan tentunya semakin bersyukur.

Karena aku yakin, seiring kemajuan usahamu, semakin besar tanggung jawab yang bakal engkau emban. Semakin besar pula tekanan yang akan kamu hadapi.

Jangan pernah takut. InsyaAllah aku akan ada di sisimu, mendampingimu meraih mimpi-mimpi indahmu.

Bagi mbak-mbak, ibu-ibu, dan pembaca sekalian jangan pernah takut untuk bermimpi.

InsyaAllah dengan doa dan kerja keras, mimpi-mimpi itu akan menjadi nyata. Terlebih di zaman global seperti sekarang, di mana banyak sekali kemudahan untuk menjalin relasi dan mengembangkan usaha sendiri.

Salam kuat untuk semua perempuan Indonesia :)

0 Response to "Dari Bisnis Online, Jalan-jalan ke Luar Negeri"

Post a Comment