Menulis

Menulis

Detik-detik Melepas Kepergian Ibunda Tercinta



Pertengahan 2011 adalah salah satu saat paling menyedihkan dalam hidup saya. Ibu yang sangat saya cintai, saya hormati, dan saya banggakan, divonis mengidap kanker. Penyakit ganas itu mendadak bersarang di dada kanan beliau.

"Mam, kata dokter Ibu kena kanker," ucap Ibu sepulang periksa dari dokter bersama Bapak.

Sembari merebahkan tubuhnya di kursi, Ibu berusaha menyembunyikan beragam perasaan yang berkecamuk di hatinya. Beliau seakan tidak ingin anak-anaknya ikut larut dalam kesedihan.

Namun, tetap saja, sebagai anak tertua, saya bisa merasakan betapa beban superberat sedang menumpuk di pundak Ibu.

Perasaan takut begitu tersirat di wajah beliau yang mulai keriput. Saya perhatikan air matanya pelan bergulir membasahi pipi.

Tidak pernah saya lihat Ibu sesedih itu. Benar-benar sangat tertekan. Merasa hidupnya tidak lama lagi. Khawatir tidak bisa menemani keempat anaknya yang saat itu beliau anggap belum paripurna.

Saya sendiri belum dikaruniai keturunan, meski sudah menikah cukup lama. Adik saya perempuan saat itu belum menikah (Alhamdulillah sekarang sudah menikah dan menanti kelahiran anak pertama).

Adik saya yang kedua belum memiliki pekerjaan yang stabil. Ekonominya bisa dibilang datar-datar saja. Padahal, dia sudah berkeluarga dan punya anak satu (Alhamdulillah sekarang anaknya dua dan ekonominya jauh lebih baik).

Sementara adik saya yang bungsu juga belum menikah. Ibu sangat mencintai adik saya yang bungsu. Mungkin karena anak terakhir, jadi Ibu paling mengkhawatirkan masa depannya.

"Bagaimana ini Mam?," kata beliau lirih sambil menundukkan wajahnya yang pucat.

Mendengar itu, dada saya semakin sesak. Bingung harus menjawab apa. Pikiran saya melayang membayangkan bagaimana nasib Ibu kelak. Namun, saya berusaha tegar dan menenangkan hati Ibu yang gelisah.

"Sabar ya Bu. Ini semua sudah takdir. Allah sayang Ibu. Jadi, Dia menimpakan musibah buat Ibu. Kalau Ibu sabar, pahala besar akan Ibu terima. Semua dosa-dosa Ibu juga akan diampuni. Orang iman sakit demam tiga hari saja dosanya diampuni, apalagi penyakit Ibu sekarang," kata saya sembari mengusap lembut kaki beliau.

"Ibu takut Mam. Tetangga-tetangga di sini banyak yang mati karena kanker. Lagian, biaya berobatnya juga mahal," kata beliau lirih.

"Ibu tidak usah takut. InsyaAllah Ibu akan sembuh. Kami akan melakukan apa saja untuk mengobatkan Ibu," kata saya sembari menceritakan penderitaan Nabi Ayub AS yang didera sakit selama 18 tahun namun tetap sabar.

Ibu memang punya alasan untuk bersedih. Selain penyakitnya yang mengerikan, beliau tidak mau membebani anak-anaknya dengan biaya pengobatan.

Itulah kebesaran hati seorang Ibu. Meski sangat membutuhkan, tetap saja beliau berusaha tidak menyusahkan anak-anaknya.

Beda sekali dengan kebanyakan anak, yang sering tidak punya beban jika meminta sesuatu pada Ibunya. Bahkan ketika Ibunya dalam kondisi kekurangan (naudzubillahi min dzalik).

Sejak divonis kanker, Ibu lebih sering murung. Wajahnya yang dulu kerap tersenyum, bahkan sering bergurau dan tertawa lepas, berubah muram.

Apalagi melihat kenyataan bahwa saya lebih banyak tidak ada di Surabaya. Saya tinggal jauh di Jakarta karena harus mencari nafkah.

Ibu sangat senang kalau saya di Surabaya. Beliau mengaku paling sreg berkomunikasi dengan saya ketimbang anggota keluarga yang lain. Mungkin karena saya anak pertama, jadi saya punya banyak kemiripan sifat dengan Ibu.

Meski saya di Jakarta, Ibu tidak pernah memaksa saya balik dan tinggal di Surabaya. Karena saya memang harus mencari rejeki untuk keluarga. Ibu yakin dengan saya di Jakarta akan lebih memudahkan pembiayaan beliau (terima kasih Ibu atas pengertiannya).

***

Setelah beberapa kali pemeriksaan lab, akhirnya beliau menjalani operasi pengangkatan kanker. Saya diminta pulang ke Surabaya untuk mendampingi beliau. Namun, karena harus bekerja, saya hanya beberapa hari di Surabaya.

Saya bersyukur keluarga besar Ibu yang tinggal di Surabaya begitu perhatian pada wanita yang melahirkan saya. Sampai-sampai mau menjaga Ibu siang dan malam.

Selepas operasi, Ibu disarankan dokter menjalani kemoterapi. Ibu menolak tegas karena hati kecilnya tidak sreg. Selain tidak ada kepastian sembuh, beberapa tetangga meninggal setelah dikemo.

Kami sudah berkali-kali berusaha meyakinkan Ibu agar mau dikemo, tapi tetap saja beliau menggelengkan kepala.

"Ibu pakai alternatif saja Mam. Katanya dikemo sakit. Badan panas semua sampai rambut rontok dan kulit menghitam. Biarlah Ibu minum jamu atau pijat saja," tutur beliau.

Dari sini, Ibu berjuang sangat keras melawan sakitnya. Berbagai macam pengobatan beliau coba. Tidak jarang Ibu harus keluar kota untuk mencari obat.

Ibu pernah berobat ke Dayang Sumbi yang menggunakan ramuan herbal. Beliau juga pernah ke Tangerang yang menerapkan teknologi gelombang elektromagnetik.

Ibu juga berkali-kali pijat alternatif ke beberapa tabib di dalam dan luar Surabaya. Terakhir, beliau berobat ke Tuban yang menggabungkan ilmu kedokteran dan herbal.

Manusia berkehendak, Allah yang menentukan. Meski telah berdoa dan berusaha, Sang Pencipta menghendaki lain. Sampai akhirnya paru-paru beliau penuh terisi air.

Tidak ada cara lain kecuali air itu harus disedot. Awalnya Ibu takut karena temannya yang mengidap kanker meninggal dunia setelah penyedotan cairan di paru-paru.

Beberapa minggu Ibu menolak menjalani penyedotan air dari paru-paru. Sampai suatu hari beliau benar-benar sangat kesulitan bernapas. Beliau sudah tidak kuat lagi. Ibu pun menyerah dan terpaksa menjalani penyedotan itu.

Sejak air di paru-paru disedot, kondisi Ibu sedikit lebih baik. Beliau bisa lebih mudah bernapas. Namun, kondisi itu tidak berlangsung lama. Rupanya cairan di paru-paru Ibu kembali muncul.

Jadilah napasnya semakin berat hingga harus dibantu oksigen. Luka bekas operasi di dadanya juga terus melebar dan semakin sering mengeluarkan darah.

Kata dokter luka itu memang sulit sembuh. Lapisan kulit Ibu mati karena dimakan sel-sel kanker. Kalau diraba, kulit Ibu seperti spons, tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Perih hati ini jika melihat penderitaan beliau. Jangankan berbaring, duduk saja beliau kesulitan. Napasnya sering terengah-engah. Pandangannya kerap kosong. Sampai-sampai, tidur pun beliau tidak bisa.

"Alhamdulillah Ibu ikhlas menerima sakit ini Mam. Tapi, yang Ibu sering tidak kuat, rasa sakitnya. Dada Ibu seperti disilet-silet dan tidak pernah berhenti. Sakiiit sekali," keluh beliau sembari meneteskan air mata.

Saya selalu menitikkan air mata setiap kali melihat Ibu menahan sakitnya. Ingin rasanya saya lawan penyakit itu. Tapi apa daya tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali berdoa dan membantu pengobatan beliau.

Pelan-pelan tubuh Ibu habis digerogoti kanker. Benar-benar nyaris tinggal kulit dan tulang. Bahkan, kulit di tulang ekor Ibu sampai mengelupas karena terlalu lama jadi tumpuan.

Mungkin saking tidak kuatnya menahan sakit, Ibu sering berhalusinasi. Beliau mengaku kerap mendengar sayup-sayup suara adzan atau orang sedang membaca Alquran. Beliau juga sesekali melihat hal-hal aneh.

Pernah suatu malam sekitar pukul 24.00, Ibu menunjuk kolong meja yang ada di depannya. Beliau bilang ada tatapan mata yang mengerikan.

"Apa itu Mam? Matanya tajam sekali," kata Ibu sambil terus melihat ke kolong meja.

Saya agak semriwing mendengar pengakuan Ibu. Tapi, saya langsung mendekati kolong meja untuk menenangkan hati beliau.

"Tidak ada apa-apa kok Bu. Cuma tas kresek saja," kata saya sembari melipat tas kresek hitam yang tergeletak di bawah meja.

"Masih ada Mam. Itu dia melototin Ibu terus. Kok kamu tidak percaya sih," kata Ibu.

Yakin memang tidak ada apa-apa, saya lantas membujuk Ibu untuk istirahat. Saya matikan lampu kemudian duduk di samping kanan Ibu. Saya lihat wajah Ibu masih menatap ke kolong meja.

Dengan lembut saya usap tangan kanan Ibu sembari membacakan doa-doa penjagaan. Hati saya benar-benar hancur melihat Ibu yang begitu menderita.

"Ya Allah, Sang Penggenggam kehidupan dan kematian. Pemilik semua takdir. Mohon dengan sangat, hilangkan penyakit Ibu. Berikanlah beliau kesabaran, kekuatan, dan keikhlasan dalam menjalani takdirMu ya Robb," doa saya untuk Ibu.

Salah satu penenang hati beliau adalah lantunan Alquran. Saat masih kuat, beliau selalu membaca berulang-ulang ayat-ayat tentang kekuasaan Allah.

Ayat-ayat itu antara lain Alfatihah 1-7, Albaqoroh ayat 1-3, ayat Kursi ditambah dua ayat setelahnya, dan Albaqoroh tiga ayat terakhir.

Beliau juga merutinkan membaca surat Alkahfi 1-10, surat Alhasr tiga ayat terakhir, Annas, Falaq, dan Alikhlas.

Saking seringnya dibaca, alhamdulillah beliau hapal semua ayat-ayat penjagaan itu. Selain merutinkan berdzikir, ayat-ayat itulah yang menjadi sahabat Ibu siang dan malam.

Saya bersyukur Ibu tidak pernah menghujat Allah atas penyakit yang beliau derita. Ibu juga tidak pernah mengeluarkan sumpah serapah atas kesusahan yang menimpanya. Ibu benar-benar selalu berusaha untuk bersabar, sabar, dan sabar.

"Ibu sudah tidak takut mati kok Mam. Ibu ridho jika dipanggil Allah sewaktu-waktu," katanya suatu hari.

***

Suatu malam di bulan Ramadhan 2013, mendadak ponsel saya berdering. Saya lihat di layar hape nomer telepon dari Surabaya. Tanpa menunggu lama, saya langsung mengangkatnya. Rupanya adik perempuan saya yang menelpon.

"Mas, ibu makin parah," katanya terisak pertanda dia menahan beban yang teramat sangat.

"Mas, segera pulang ya. Ibu sekarang di rumah sakit. Ibu sudah tidak sadar. Aku takut Mas," imbuhnya dengan suara tercekat.

Tanpa menunggu waktu, keesokan hari saya balik ke Surabaya. Saya langsung menuju rumah sakit di kawasan Rungkut Industri tempat Ibu dirawat.

Saya melihat Ibu diam seribu bahasa. Tubuhnya kurus kering nyaris tak bersisa. Seperti yang lalu-lalu, posisi Ibu hanya duduk. Tak bisa berbaring ke kanan, maupun ke kiri. Matanya terpejam. Benar-benar mengenaskan.

Dengan lembut saya sapa Ibu. Saya bisikkan ke telinga kiri beliau bahwa saya sudah di Surabaya. Sudah ada di sampingnya.

"Bu, ini Imam. Saya sudah pulang. Saya akan menemani Ibu," kata saya sembari membelai tangan dan punggung Ibu.

Sesekali Ibu tersadar dan menganggukkan kepala jika saya ajak bicara. Tapi setelah itu diam kembali.

Setelah sholat Jumat, dokter memanggil saya. Dia bilang rumah sakit hanya bisa mengistirahatkan Ibu, tidak bisa mengobati. Organ-organ vital beliau, terutama paru-paru sudah mengalami kerusakan parah.

"Terserah kepada keluarga, apakah terus di rumah sakit, atau dirawat di rumah. Yang pasti, kondisi seperti ini sudah di luar kemampuan kami. Organ dalam Ibu sudah banyak yang tidak berfungsi dengan baik," kata dokter.

Sesak dada ini mendengar penjelasan dokter. Kami meminta dia untuk memberikan alternatif lain agar Ibu bisa sembuh. Namun, dokter tetap angkat tangan.

Mendapati kenyataan itu, kami sekeluarga langsung musyawarah. Beberapa menit kami berdiskusi membahas keputusan terbaik. Akhirnya kami sepakat membawa Ibu pulang. Kami memilih bertawakal kepada Allah SWT.

Kami yakin jika memang Allah menghendaki sembuh, beliau akan sembuh seperti yang terjadi pada Nabi Ayub AS. Namun, jika Allah lebih menginginkan Ibu pulang, kami semua sudah ikhlas.

Daripada Ibu menderita lebih lama, kami yakin surga adalah sebaik-baiknya tempat kembali.

***

Adzan maghrib pun terdengar sayu-sayup. Saya menghampiri Ibu dan mengajaknya sholat. Alhamdulillah beliau masih merespons. Beliau menganggukkan kepala ketika saya ajak untuk sholat.

Saya lantas membacakan semua bacaan sholat, dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Setelah itu, Ibu terdiam lagi. Tidak bergerak.

Saya dan saudara-saudara lantas mengemasi semua barang bawaan untuk dibawa pulang. Usai kemas-kemas, adzan Isya pun berkumandang. Saya lantas mendekati Ibu untuk saya bimbing sholat Isya.

"Ibu sholat Isya dulu ya. Setelah itu kita pulang," bisik saya di telinga kiri beliau.

Kali ini respons Ibu nyaris tidak ada. Matanya tetap terpejam meski napasnya masih naik turun. Saya lantas membacakan semua bacaan sholat ke telinga kiri Ibu sampai selesai.

Usai sholat, perawat mencabut satu persatu alat yang menempel di tubuh Ibu. Sampai akhirnya tidak tersisa lagi semua alat bantu itu.

Dengan menumpang taksi, kami dampingi Ibu pulang ke rumah. Dibantu Bapak dan adik, saya bopong tubuh Ibu yang kurus kering keluar dari rumah sakit.

Karena tubuhnya yang lunglai dan penuh luka, sulit sekali memposisikan Ibu di jok belakang. Tapi Alhamdulillah, akhirnya kami bisa meninggalkan rumah sakit menuju rumah di Semolowaru.

Selama dalam perjalanan pulang, saya terus memeluk Ibu dan membacakan tahlil di telanga kiri beliau. Seperti yang sudah-sudah Ibu hanya diam. Sama sekali tidak bereaksi.

Sekitar 45 menit kemudian, kami tiba di rumah. Ibu langsung kami baringkan di kamar tidurnya. Itu adalah kali pertama beliau kembali ke rumah setelah tiga bulan dirawat di rumah saudara di Bumi Marina Mas, Keputih.

Saat di kamar tidur, Ibu terlihat tidak berdaya. Persis ketika masih di rumah sakit. Tubuhnya lunglai dan dingin. Saya dan ketiga adik saya mengambil posisi mengelilingi Ibu.

Adik saya yang perempuan memeluk dan membisikkan tahlil di telinga kanan beliau. Sementara adik saya yang nomer dua membisikkan tahlil di telinga kiri beliau.

Saya dan adik saya yang bungsu memegangi kaki Ibu. Saya membacakan ayat-ayat penjagaan yang biasa dibaca Ibu. Saya juga membaca surat Alfajr ayat 27-30.

"Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridho dan diridhoi. Maka masuklah dalam barisan hamba-hambaKu. Dan masuklah kalian ke dalam surgaKu."

Di saat yang sama, belasan saudara Ibu yang telah hadir tidak henti-hentinya membacakan surat Yasin. Di antara mereka tak kuasa menahan tangis. Mereka tidak tega melihat Ibu yang terbaring lemah tak berdaya.

Sekitar dua jam Ibu nazak, akhirnya beliau kembali ke sisiNya. Napas terakhirnya berhembus ringan diiringi bola mata yang naik ke atas.

Sontak, tangis pun pecah malam itu. Seluruh keluarga besar Ibu yang ikut menunggui detik-detik memilukan tersebut juga larut dalam kesedihan yang teramat sangat.

Adik perempuan saya paling shock dengan kepergian Ibu. Dia berteriak sembari mengusap air matanya yang terus bercucuran.

"Ibu masih hidup. Ibu masih hidup. Kenapa kalian tidak percaya. Ibu masih hidup," teriaknya sambil mendekap erat tubuh Ibu.

Kami yang ada di sekelilingnya berusaha menenangkan. Bude saya, yang juga menangis, langsung memeluknya dan berbisik di telinganya.

"Kami harus ridho. Kamu harus kuat. InsyaAllah Ibu adalah ahli surga. Kasihan Ibu kalau kamu tidak ridho dengan takdirNya," kata Bude Syarifah sembari mengajak adik perempuan saya terus beristighfar.

"Aku nanti ikut siapa De. Nanti aku ikut siapa, Mas," katanya dengan suara berat.

"Nanti kamu ikut sama Bude. Nggak usah khawatir, semua saudara akan menemani kamu," tutur Bude Syarifah.

Meski beberapa menit sempat shock, alhamdulillah adik perempuan saya akhirnya bisa tenang.

Dia mulai menerima kenyataan bahwa Ibu benar-benar telah kembali kepada Penciptanya. Apalagi, setelah salah satu tetangga kami yang berprofesi sebagai perawat mengecek keadaan terakhir Ibu.

Adik saya perempuan memang pantas bersedih. Dialah satu-satunya perempuan di rumah kami selain Ibu. Selain itu, tiga bulan terakhir, dialah yang lebih sering merawat Ibu sehari-harinya.

Di tengah kesibukannya bekerja, dia masih menyempatkan diri menunggui Ibu. Menyuapi Ibu, bahkan memandikan Ibu.

Sama seperti saudara-saudara yang lain, air mata saya pun menetes melepas kepergian Ibu.

Berat rasanya menyaksikan makhluk paling mulia, paling saya cintai, paling saya banggakan, paling saya kagumi, dan paling saya hormati setelah baginda Nabi Muhammad SAW, harus berpulang ke Rahmatullah.

Ibu tutup usia pada usia 53 tahun di hari Jumat malam Sabtu. Waktu itu bertepatan dengan malam 25 Ramadhan tahun 2013.
Sejumlah riwayat dalam hadist menyebut malam itu adalah waktu yang penuh berkah dan pengampunan. Malam di mana Lailatul Qodar insyaAllah hadir menyapa bumi.

Inna lillahi wa inna ilahi rojiun. Selamat jalan Ibunda tercinta.

Maafkan atas semua kesalahan kami. Maafkan atas kenakalan kami. Maafkan atas semua pembangkangan kami.

Terima kasih untuk semua doa-doa yang pernah engkau panjatkan untuk kami.

Terima kasih atas semua kebaikan, kasih  sayang, pengorbanan, dan jasa-jasamu.

Terima kasih telah mengajarkan kami kesederhanaan.

Terima kasih telah mengajarkan kami ketulusan.

Terima kasih telah mengajarkan kami kesabaran, terutama kala menghadapi beratnya cobaan, bahkan saat harus menyambut datangnya malaikat maut.

Semoga semua dosamu terampuni.

Semoga semua amal baikmu diterima.

Semoga engkau dibebaskan dari siksa kubur dan api neraka.

Semoga engkau masuk surga bersama para Nabi, sahabat, dan syuhada.

Tidak perlu engkau merasa sendiri, karena insyaAllah, doa-doa kami senantiasa terpanjatkan untukmu.

Kelak, cepat atau lambat, kami akan menyusulmu. Dan kita akan kembali bersama, di tempat yang jauh lebih baik, jauh lebih indah daripada dunia yang penuh dengan kepalsuan ini (insyaAllah).

Peluk dan cium untuk Ibunda tercinta. Tenanglah Engkau di sisiNya.

Dan semoga tidak ada perempuan di dunia ini yang merasakan sakit serta penderitaan sepertimu :(

0 Response to "Detik-detik Melepas Kepergian Ibunda Tercinta"

Post a Comment