Menulis

Menulis

Alasan Mengapa Sejenak Berhenti Menulis


Banyak yang bertanya:
Kenapa kulkutuk.com pernah berhenti bikin coretan? Padahal, biasanya hal-hal gak penting saja dikomentari. Sampai-sampai yang baca eneg, mual, bibir pecah-pecah, dan susah buang air besar (mirip promo larutan penyegar ya 🙊 qiqiqiqi)

Jadi begini saudara-saudara. Setelah ikut Pelatihan Pendidikan Orang Tua (PPOT) di Sekolah Alfalah, Ciracas, Jaktim, level 1-4, mendadak otak saya seperti stag. Ini karena ilmu dan pengetahuan yang disampaikan Pendiri sekaligus Direktur Sekolah Alfalah, drg Wismiarti Tamin (Bu Wismi) membuat saya "shock".

Betapa tidak, sebagian besar ilmu dan pengetahuan yang saya peroleh dari kecil hingga dewasa seolah sirna. Bukan karena hilang atau lenyap, tapi karena banyak kekeliruan dalam memahami dan mempraktikkannya.

Ilustrasinya begini:

Saya biasa ke Surabaya naik bajaj dari kontrakan di kawasan Cempaka Putih, Jakpus ke Stasiun Senen. Setelah itu, lanjut naik kereta api jurusan Pasar Turi. Dari sini, naik angkot dua kali hingga sampai gang depan rumah.

Selama dalam perjalanan, saya beli nasi bungkus yang sudah dingin, gorengan, mie instan, dan segelas plastik kopi hitam.

Saya merasa tidak ada yang salah dengan itu. Tapi, dilihat dari kacamata kesehatan, ada beberapa hal yang saya langgar. Saya terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang tidak sehat sehingga bisa berakibat buruk di kemudian hari.

Belum lagi jika dilihat dari kacamata lingkungan. Berapa banyak emisi yang dihasilkan dari mulai naik bajaj, kereta, hingga angkot sampai gang depan rumah.

Nah, di dunia pendidikan, hal seperti ini juga berlaku. Ada seabrek aturan yang wajib dipahami agar proses belajar-mengajar membuahkan hasil optimal.

Di PPOT 1 sampai 4, Bu Wismi membongkar banyak hal yang diam-diam merusak tujuan pendidikan. Bukannya membikin anak cerdas dan jadi rahmatan lil alamin, banyak murid yang justru menjauhi karakter manusia.

"Harimau kalau makan tidak peduli daging milik siapa yang ada di depannya. Harimau juga tidak pernah minta izin jika akan memangsa buruannya. Harimau bahkan sering merampas daging milik binatang lain," ulas Bu Wismi.

"Pendidikan seharusnya mampu membuat anak manusia tumbuh menjadi orang berkarakter manusia. Seperti yang difirmankan Allah bahwa manusia adalah sebaik-baiknya ciptaan," terang Bu Wismi.

Hmmm, dalam sekali ya apa yang disampaikan Bu Wismi. Padahal, jika kita lihat kenyataan di lapangan, tidak terhitung berapa banyak pejabat yang berkarakter harimau. Berapa banyak orangtua dan guru yang sengaja atau tidak, memfasilitasi anak-anak jadi generasi berkarakter harimau.

"Pendidikan yang bermutu dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Ada banyak hal yang mesti diperhatikan saat ibu hamil. Mulai dari memberi nutrisi yang lengkap, memberikan rangsangan positif, hingga menjaga pikiran agar tetap bahagia. Dibutuhkan ilmu dan pengetahuan agar janin lahir sehat dan siap menerima pendidikan lebih lanjut," papar Bu Wismi.

Setelah lahir, anak harus dididik sesuai tahap perkembangannya. Salah besar jika orangtua, guru, dan lingkungan menganggap anak-anak sebagai orang dewasa berukuran mini. Mereka tetaplah anak-anak dengan tahap perkembangan yang berbeda-beda.

Lagi-lagi, ilmu dan pengetahuan menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Di PPOT 3, Bu Wismi mengupas tuntas tahap perkembangan anak dari berbagai hasil penelitian para pakar, di antaranya Jean Piaget, Erik Erikson, dan Anna Freud.

Memahami tahap perkembangan anak sangat menentukan kesuksesan proses belajar-mengajar. Salah membaca tahap perkembangan anak, jutaan bahkan miliaran potensi anak bisa terbuang sia-sia.

Misal, saat bayi berusia 0-2 tahun. Ada sekitar 100 miliar sel di dalam otaknya. Jika tidak dirangsang dengan tepat, sel itu akan lenyap. Bayangkan, betapa banyak orangtua yang belum menyadari anugerah sel otak yang diberikan Allah kepada anak.

"Ini adalah masa terbaik bagi orangtua dan guru untuk mengembangkan kemampuan sensorimotor anak. Tahapan ini sangat penting karena menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya. Jika baik di 0-2 tahun, insyaAllah perkembangan selanjutnya akan berjalan lebih baik," jelas Bu Wismi.

Tidak hanya itu, betapa banyak orangtua dan guru yang belum paham cara mengasuh dan mendidik anak yang baik dan benar. Di antara mereka masih ada yang suka membentak, mengumpat, bahkan marah-marah kepada anak. Padahal menurut sejumlah penelitian, banyak sel otak anak yang mati sia-sia akibat perilaku lingkungan yang tidak baik.

"Ada penelitian menarik dari Ellen Galinsky tentang sirnanya mata bayi yang berbinar-binar saat beranjak dewasa. Ternyata, salah satu penyebab hilangnya pancaran mata anak yang berbinar-binar adalah kegagalan orangtua dan guru merangsang semangat belajar anak," papar Bu Wismi.

Menurut Bu Wismi, setiap anak lahir sebagai peneliti yang baik. Itulah sebabnya mata mereka selalu berbinar ketika memperhatikan benda-benda di sekitarnya. Mereka selalu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Anak-anak juga berani melakukan apa saja demi mengerti lingkungannya. Terkadang mereka harus jatuh bangun, bahkan memegang api hanya untuk memahami lingkungannya.

Mereka juga tidak pernah lelah bertanya ini dan itu ketika sudah bisa bicara. Energi mereka benar-benar dahsyat untuk belajar dan terus belajar.

Sayang, kodrat anak sebagai peneliti ulung dipatahkan orangtua dan guru yang minim ilmu. Bukannya memfasilitasi anak terus mengeksplore kemampuannya, banyak orangtua dan guru yang justru mematikannya.

"Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hilangnya mata anak yang berbinar-binar salah satunya akibat pola didik orangtua dan guru yang suka membatasi, bahkan tidak sabar terhadap anak-anak," imbuh Bu Wismi.

Menurut Bu Wismi, orangtua dan guru yang baik selalu punya waktu dan kesabaran untuk memahami anak. Bukan anak yang dipaksa memahami orangtua dan guru.

Misal, ketika orangtua membangun rumah. Seharusnya orangtua menyiapkan ruangan yang didesain khusus seperti laboratorium mini bagi anak-anak batita. Berikan mereka aneka benda berbeda warna, ukuran, bentuk, dan bahan. Ini baik untuk merangsang perkembangan sensorimotor anak.

Pastikan mereka aman saat memainkan benda-benda itu. Perhatikan juga setting lingkungan agar anak-anak tidak membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

"Kalau semua rumah isinya barang mudah pecah, lalu bagaimana anak bisa menjadi peneliti yang baik? Apalagi jika anak selalu dilarang ini dan itu. Sebenarnya kita membangun rumah untuk kepentingan anak atau kepuasan diri sendiri?" tanya Bu Wismi.

Subhanallah, detail sekali Bu Wismi menjelaskan betapa besar peran orangtua dan guru dalam mendukung dan mengembangkan potensi anak. Ternyata banyak sekali hal-hal remeh yang sering diabaikan padahal berpengaruh besar pada masa depan anak.

Nah, itulah mengapa, saat belajar tahap perkembangan anak di PPOT 3, mendadak otak saya seperti stag. Sulit rasanya bicara atau menulis dengan dasar keilmuan yang baik dan benar.

Saya khawatir, jika saat bicara atau menulis, bukan kebaikan yang saya sampaikan, tapi justru menjadikan orang lain menjauhi karakter manusia yang mulia (Naudzubillahi min dzalik. Ya Allah, ampunilah semua kesombongan dan kebodohan kami. Tunjukilah kami ke jalan yang Engkau ridhoi).

Dari penjelasan Bu Wismi di PPOT 1-4, saya teringat betapa mulia sabda Baginda Nabi Muhammad SAW dalam hadist Buchori, Muslim, dan Ahmad yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah AS:

"Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya. Dan siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berbicaralah yang baik atau diam."

InsyaAllah PPOT 5 digelar pada 16-21 Maret 2015. Sedangkan PPOT 6 insyaAllah digelar pertengahan Mei 2015. Semoga saya bisa menuangkan ilmu-ilmu dari Bu Wismi dalam sebuah buku berjudul: "Belajar di Negeri Impian."

Semoga Anda dan saya menjadi orangtua dan guru terbaik bagi anak-anak. Aamiiin.

0 Response to "Alasan Mengapa Sejenak Berhenti Menulis"

Post a Comment