Menulis

Menulis

Managing Expectations, Seni Mengelola Keinginan



Coba simak cerita fiktif ini baik-baik. Ada dua anak perempuan usia lima tahun bernama Ani dan Ina. Mereka hidup dari kalangan ekonomi berbeda.

Ani suatu malam makan KFC palsu seharga 5 ribu rupiah. Dia makan dengan lahapnya. Maklum, itu adalah daging ayam pertama yang dia kunyah dalam sepekan terakhir.

Ayah Ani seorang tukang becak, sedang ibunya hanyalah buruh cuci. Penghasilan mereka pas-pasan untuk membiayai tiga anak yang masih kecil-kecil.

Di saat yang sama, Ina makan KFC asli di gerai dekat rumahnya. Berbeda dengan Ani, Ina enggan menghabiskan makanan bercap Amerika itu. Dia justru menangis sejadi-jadinya karena tidak dibelikan boneka seharga 300 ribuan.

Kisah sederhana Ani dan Ina ini saya yakin sering kita saksikan bahkan alami sendiri.

Ada orang yang begitu menikmati hidup, meski secara kasat mata dalam kondisi kekurangan. Sementara di pihak lain, ada yang sulit menikmati padahal dalam kondisi serba kecukupan.

Lalu apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan itu? Jawabannya terletak pada kinerja otak masing-masing individu.

Bagi Ani yang sederhana, otaknya berpikir simpel. Sudah seminggu tidak makan ayam, tiba-tiba dibelikan KFC palsu. Hmmm, nyam, nyam, nyam, yummmy lezatnya.

Sebaliknya, bagi Ina yang dibelikan KFC asli (yang rasanya jauh lebih enak dan harganya lebih mahal) justru tidak bisa menikmati. Otak Ina mengirim sinyal untuk lebih fokus pada boneka seharga 300 ribuan.

Dari sini kita bisa menyimpulkan, bukan pada harga dan jenis ayamnya orang bisa merasakan kenikmatan. Tapi, lebih pada kinerja otak saat merespons hidangan tersebut.

Tepat apa yang disabdakan Baginda Nabi Muhammad SAW dalam hadist Buchori No 6446 dan Muslim No 2414 yang diriwayatkan Abu Huroiroh: "Bukanlah kekayaan karena banyak harta, melainkan kaya itu sejatinya ada di dalam hati."

Maksudnya, hati (otak dan perasaan) yang menentukan reaksi (senang, puas, nikmat, bahagia, sedih, susah, takut, galau, khawatir, dll). Bukan pada materi yang ada di sekitar kita.

Ketika Ani merespons KFC palsu dengan suka cita, maka nikmatlah rasanya. Sementara Ina yang merespons KFC asli dengan setengah hati, hambarlah rasanya.

Dari sini muncul istilah "managing expectations" atau seni mengelola keinginan. Banyak buku yang mengulas tema menarik ini, baik dari dalam, maupun luar negeri.

Intinya sama, bukan pada kebendaan (materi ataupun situasi) yang membuat seseorang merasa senang atau bahagia. Melainkan pada kerja otak ketika merespons apa yang sedang terjadi.

Saat mendengar tetangga sudah beli mobil atau rumah, bagaimana reaksi kita?

Saat melihat ada teman pasang foto-foto umroh di FB, bagaimana sikap kita?

Saat sahabat ngetweet sedang jalan-jalan di Jerman, seperti apa perasaan kita?

Saat lihat Linked In ada teman dilantik jadi CEO, seperti apa respons kita?

Menarik apa yang disampaikan guru Sokola Rimba, Butet Manurung saat diwawancarai Metro TV beberapa bulan lalu.

Pernah suatu saat, dalam perjalanan menuju hutan, dia kehilangan walkman berisi lagu-lagu kesayangannya. Setibanya di Sokola Rimba, Butet terlihat murung dan tidak semangat mengajar.

Ditanyalah dia oleh seorang warga rimba.

"Kenapa Kamu sedih?"

Butet lantas menceritakan musibah walkmannya yang hilang. Betapa terkejutnya wanita dermawan itu mendengar jawaban warga rimba yang duduk di depannya.

"Kebahagiaan kamu ada pada barang-barang itu. Kalau barang-barang itu hilang kamu tidak bahagia lagi. Kalau kami tidak seperti itu. Apa yang kami miliki saat ini itulah kebahagiaan kami," kata orang rimba.

Kalimat orang rimba sangat luar biasa. Tapi, jauh lebih dahsyat pernyataan Nabi Ayub AS ketika kehilangan harta, anak, dan istri serta menderita penyakit kulit akut selama 18 tahun.

"Saya malu pada Allah jika minta dikembalikan dalam keadaan semula (sehat, kaya raya, banyak istri, banyak anak). Karena durasi penderitaan saya saat ini jauh lebih sebentar dibanding usia saya."

Mengapa Nabi Ayub AS bisa berkata demikian? Sudah pasti karena managing expectations-nya berada di level tertinggi.

Baginya, Allah adalah segalanya. Tujuan hidupnya. Harapannya. Kebahagiaannya. Karena Allah kekal, bahkan tidak tidur dan tidak ngantuk, kebahagiaan Nabi Ayub AS pun tiada pernah berhenti, apalagi mati.

Bagaimana dengan kita, sudahkah kita bahagia dalam hidup ini? Mikirrrrrrr !!!!!!!

Semoga kita termasuk hamba-hamba yang bahagia selamanya :)

0 Response to "Managing Expectations, Seni Mengelola Keinginan"

Post a Comment