Menulis

Menulis

Merasakan Mati dalam Hidup



Kisah ini adalah salah satu yang paling sulit saya tuangkan ke dalam coretan. Bukan terkait teknis penulisan, melainkan pada menjaga hati dan konsekuensi pemahaman hikmahnya.

Semoga Allah melindungi saya dan Anda dari segala kejelekan, kelemahan, kekurangan, kesombongan, dan kebodohan diri.

-------------
Agustus 2013, sebuah peristiwa besar mengguncang hidup saya. Setelah sakit kanker selama tiga tahun, Ibunda tercinta dipanggil menghadap Sang Pencipta.

Perempuan mulia yang melahirkan, merawat, membesarkan, mengasuh, dan mendidik saya pergi menemui Dzat yang semasa hidupnya sering beliau ceritakan.

"Kita ada di dunia ini karena Allah yang menciptakan. Suatu saat, kita semua akan kembali kepadaNya. Kita akan bertemu denganNya," nasihat Ibu kepada kami, anak-anaknya.

Apa yang dikatakan Ibu 100% benar. Setelah puluhan tahun mendampingi putra-putrinya, Beliau akhirnya kembali kepadaNya.

Sejak kepergian Ibu, jujur, hidup saya seperti hampa. Dunia seakan berhenti berputar. Gairah duniawi yang dulu meletup-letup mendadak lenyap hingga ke titik nol.

Tak pernah saya merasakan kehilangan yang begitu dalam seperti saat ditinggal Ibu. Bagi saya, Ibu adalah makhluk paling hebat, paling baik, paling mengagumkan, paling mulia setelah Baginda Nabi Muhammad SAW.

Saat meletakkan jenazah Ibu ke dalam liang lahat, saya berkata dalam hati.

"Ibu, engkau akan sendirian di sini selamanya sampai hari kiamat. Engkau sudah tiada. Engkau diam membisu tanpa aktivitas apapun seperti ketika di dunia. Bagaimana rasanya menjadi dirimu seperti sekarang? Mati. Ya, orang bilang engkau mati."

Sepulang dari makam, tetap saja pikiran itu hinggap di otak saya. Saya selalu terbayang jasad Ibu yang tidur sendirian di dalam tanah.

Bagi manusia hidup, di sana pasti sepi, pasti gelap, pasti bau, pasti sumuk, pasti sempit, dan pasti menyesakkan dada karena tak ada udara. Belum lagi serangan binatang-binatang tanah yang bagi sebagian orang sangat menjijikkan.

Tidak sampai hati saya membayangkan wajah Ibu yang lembut dan anggun digerogoti cacing tanah dan belatung. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni semua dosa Ibuku dan Kau terima semua amal baiknya.

Beberapa minggu saya masih saja memikirkan kondisi Ibu. Saya bahkan sempat demam tinggi karena jarang makan. Hingga akhirnya, alhamdulillah, akhir September 2013, angin segar berhembus. Salah satu doa Ibu terkabul. Saya mendapat kesempatan pergi ke Tanah Suci melaksanakan rukun Islam yang kelima.

Semasa Beliau hidup, saya sering sekali memohon kepada Ibu untuk mendoakan saya bisa pergi ke Mekah dan Madinah. Karena bagi saya, kedua kota suci itu adalah tempat terindah bagi umat Islam di seluruh dunia.

Saya sangat bersyukur, salah satu guru saya yang sangat saya hormati dan kagumi, KH Imam Bashori memberikan kesempatan kepada saya untuk ke Haramain.

Pendiri sekaligus Pemimpin Multazam Utama tour & travel itu memberi kepercayaan kepada saya untuk menemani putra keduanya beribadah haji.

Rejeki ini bagaikan oase di tengah keringnya hati pasca ditinggal Ibunda tercinta. Benar-benar sebuah kado istimewa yang sulit dibandingkan dengan apapun.

"InsyaAllah Mas Imam berangkat sama anak saya akhir September 2013. Semoga Allah memberikan kelancaran dan keberkahan," kata KH Imam Bashori dengan tersenyum.

Kata-kata beliau begitu menyejukkan. Bahkan, menurut saya, itu adalah salah satu kalimat terindah yang pernah saya dengar selama hidup.

Betapa bahagianya saya, di saat jutaan umat Islam harus menanti belasan hingga puluhan tahun untuk bisa haji, alhamdulillah, saya bisa langsung berangkat.

Yang lebih membahagiakan, saya ke Tanah Suci menggunakan visa khusus. Ini artinya, saya berangkat ke Mekah sebelum rombongan haji Multazam Utama meninggalkan Indonesia, dan kembali ke Tanah Air setelah semua jamaah pulang.

"Mas Imam di sana InsyaAllah sekitar dua bulan. Jadi bisa mengumpulkan banyak bahan untuk ditulis," kata KH Imam Bashori yang kebetulan tinggal tak jauh dari kontrakan saya di Cempaka Putih, Jakpus.

Karena harus dua bulan berada di Haramain, saya terpaksa melepas pekerjaan sebagai Head of Media di perusahaan milik pebisnis Singapura. Pak Bos hanya mau saya cuti satu bulan. Di luar itu, saya harus resign.

Sebagai umat Islam yang rindu tanah kelahiran Baginda Nabi, saya rela meninggalkan pekerjaan di perusahaan semi-asing itu.

Dalam hati saya berpikir, umur tak ada yang tahu. Semoga dengan berangkat tahun itu (2013), Allah memberikan pahala haji mabrur, meski hanya sekali seumur hidup.

Singkat cerita, saya pun bersiap untuk ke Tanah Suci. Berbagai perbekalan pun sudah saya siapkan, termasuk balsem dan tali pengikat.

Saya membutuhkan dua barang itu karena kaki kanan saya masih bengkak. Sebulan sebelum terbang, kaki saya terkilir saat main sepak bola di lapangan Arcici.

Sudah beberapa kali diurut oleh tiga tukang pijet berbeda, tetap saja kaki saya masih belum normal.

Setelah saya bawa ke dokter, baru diketahui bahwa kaki saya ternyata mengalami infeksi otot. Alhasil, saya harus minum obat untuk membantu proses penyembuhan. Alhamdulillah, bengkak itu akhirnya pelan-pelan kempes.

*****

Hari H pun tiba. Saya harus keluar rumah meninggalkan Tanah Air. Dengan kaki agak terpincang-pincang, saya mengawali perjalan suci menjadi petugas haji sekaligus mendatangi panggilan Allah.

Labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wanni'mata laka mulk laa syarikalak.

Meski rasa bahagia dan syukur begitu mendominasi hati dan pikiran saya, tetap nuansa berkabung masih menyelimuti. Kenangan tentang almarhumah Ibu terngiang-ngiang di kepala.

Saat itulah terbersit di otak saya ilham untuk menjalani ritual mati dalam hidup. Ya, ritual mati dalam hidup. Saya ingin merasakan bagaimana rasanya "mati" seperti Ibu saya.

Namanya juga mati, semua keinginan duniawi dibuang jauh-jauh.

Tidak ada orang mati yang punya cita-cita kecuali selamat saat menghadap kepadaNya.

Jangankan mengoleksi mobil dan rumah mewah, bangun dari alam kuburpun orang mati tidak mampu.

Tidak ada orang mati yang berambisi jadi orang kaya, apalagi terkenal seperti selebriti.

Tidak ada orang mati yang ingin kawin lagi, apalagi sampai berkali-kali.

Tidak ada orang mati yang mikir bisnis, apalagi sibuk ngurusin duniawi.

"Pokoknya apapun yang terjadi, biar Allah yang 100% mengatur. Bahkan, jika harus mati sungguhan pun, insyaAllah saya siap. Itu berarti, saya akan berada satu dimensi dengan almarhumah Ibu," demikian kata saya dalam hati.

Sejak saat itu, saya berusaha sekuat tenaga menjalani aktivitas sehari-hari tanpa memikirkan duniawi. Benar-benar seperti orang yang lenyap dari muka bumi. Apapun yang terjadi, semaksimal mungkin saya pasrahkan kepada Allah.

Subhanallah wal hamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar.

Sungguh luar biasa kekuatan tawakal. Di saat pikiran kita kosong dari segala macam nafsu duniawi, Sang Pencipta menyapa dengan berbagai kebesaranNya. Setidaknya itulah yang saya alami dan rasakan selama hampir dua bulan di Tanah Suci.

Banyak sekali kejadian di luar akal manusia yang menunjukkan kehadiran dan kekuasaan Allah. Bahkan sampai pada hal-hal yang sangat sepele.

Kaki saya yang bengkak perlahan mulai sembuh. Bahkan 100% sehat. Padahal kalau dipikir, harusnya masih sakit, atau bahkan tambah parah karena banyak sekali aktivitas fisik di sana.

Saking sehatnya saya sempat dua kali bermain futsal bersama petugas haji dari travel lain dan teman-teman ustadz yang menimba ilmu di Ma'had Haram (ponpes yang dikelola Masjidil Haram).

Selain kaki yang "mendadak" sehat, ada banyak sekali keajaiban yang diperlihatkan Sang Maha Kuasa.

Pernah suatu saat terbersit ingin makan pisang karena lama tak mencicipi buah lezat itu. Tiba-tiba, beberapa menit kemudian, Hj Wien Bashori, istri KH Imam Bashori memberi aneka buah-buahan, termasuk pisang.

Pernah juga ketika saya membaca buku manasik saat perjalanan di dalam bus yang gelap, tiba-tiba jamaah haji persis di sebelah kanan saya memberi pulpen yang bisa bercahaya.

Padahal kalau dipikir normal, berapa probabilitas dari sekian banyak jamaah haji yang ada di situ yang membawa pulpen bercahaya? Mengapa si pemilik pulpen kok ya pas ada di samping saya.

Tentu ini adalah pekerjaan Allah. Dia yang mengkondisikan segala sesuatu di jagat raya ini. Istilah kata, jangankan memberi pulpen, mencipta, mengatur, menjaga, dan merawat triliunan makhluk saja Dia bisa.

Ada lagi kejadian yang setengah tidak masuk akal. Suatu siang, makanan di Arofah habis. Banyak sekali jamaah haji yang belum kebagian makanan, termasuk saya.

Saya tanya kepada jamaah haji yang lain, katanya di mana-mana makanan dari panitia Saudi sudah habis.

Iseng ingin melihat kondisi tenda jamaah haji yang lain, saya pun jalan-jalan tak jauh dari sekitar tenda saya.

Tak lama setelah itu, saya melihat ada salah satu dapur yang baru saja dibuka. Sama sekali tidak ada tanda-tanda antrian.

Saya lantas bertanya kepada petugas dari Saudi apakah makanan itu untuk jamaah haji? Ternyata dia menjawab iya. Akhirnya saya pun bisa makan dan minum secukupnya bersama jamaah haji lainnya.

Kejadian-kejadian di atas hanyalah beberapa dari sekian banyak kebesaran yang diperlihatkan oleh Allah. Masih banyak keajaiban-keajaiban lain yang sungguh di luar normal.

Saya yakin Anda yang pernah ke Tanah Suci insyaAllah juga sering merasakan hal-hal ajaib di luar akal normal. Bahkan, mungkin lebih ajaib dari yang pernah saya alami. (yang belum pernah ke Baitullah, saya doakan semoga Anda semua bisa segera menjadi tamu-tamu Allah)

Yang jelas, dari berbagai peristiwa yang terjadi, saya berkesimpulan bahwa tawakal (berserah diri kepada Allah secara total, bahkan sampai pada level tidak takut mati) bisa membuka pintu supranatural (baca: rahmat).

Saya bertanya, apakah ini yang dialami orang-orang jaman dulu hingga mereka bisa melakukan hal-hal yang dianggap di luar kewajaran?

Apakah hal-hal ajaib itu hasil dari kekuatan tawakal?

Entahlah, saya sendiri masih harus banyak belajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mistis itu.

Saya juga masih harus banyak belajar untuk meraih derajat keimanan, ketakwaan, dan tawakal yang baik.

Jujur, sampai sekarang, urusan dan godaan duniawi sering kali menyita perhatian. Bahkan terkadang sampai melalaikan Sang Pencipta. Banyak waktu yang lewat tanpa ingat kepada Allah. (laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimiin).

Namun setidaknya, saya sangat bersyukur Allah sudi mengizinkan saya merasakan sebuah pengalaman spiritual yang begitu dahsyat. Pengalaman berada di batas antara hidup dan mati.

Semoga coretan ini bisa menjadi kebaikan bagi siapa saja, setidaknya buat diri dan keluarga saya.

Doa dan ikhtiyar adalah kewajiban kita. Adapun hasil, sepenuhnya milik Allah. Terkadang Allah memberikan yang jauh lebih indah daripada impian kita. Namun terkadang Allah memberikan yang lebih "mengerikan" daripada yang pernah kita duga.

"Barang siapa yang berserah diri kepada Allah, maka Allah menunjukkan jalan keluar dari setiap kekusahan, dan memberi rejeki dari jalan yang tak disangka-sangka. Barang siapa yang berserah diri kepada Allah, maka Allah akan mencukupi (keperluannya)." (QS  Thalaq 2-3)

Pertanyaan yang tersisa. Sampai sejauh mana kita berani berserah diri kepada Sang Maha Kuasa?

------------
Semoga Allah menganugerahi Anda dan saya tawakal yang tinggi, termasuk ketika harus berhadapan dengan malaikat maut. Saat di mana jam kehidupan kita berhenti secara tiba-tiba.

0 Response to "Merasakan Mati dalam Hidup"

Post a Comment