Menulis

Menulis

Aku, Dafa, & Balonku Ada 5



Coretan ini semoga bisa membuka mata kita betapa dunia benar-benar telah dan akan terus berubah. Ada 1001 alternatif untuk menjalani hidup yang lebih baik.

*****

Ini tulisan idealis saya. 100% Anda boleh tidak setuju. Meski demikian, saya berharap ada hikmah yang bisa dipetik.

Suatu sore di bulan Mei 2014. Saya main ke rumah Umar, tetangga sebelah kontrakan. Seperti biasa, saya ngobrol santai di lantai rumahnya.

Mendadak, Dafa, anak pertama Umar yang baru berumur tiga tahun menjulurkan tab warna putih. Rupanya dia minta sang bapak memutar lagu anak-anak yang tersimpan di dalamnya.

Dalam waktu kurang dari 15 detik, lagu fenomenal "Balonku Ada Lima" mengalun renyah. Dafa pun sontak gembira dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya yang mungil juga tak berhenti bergerak.

Melihat pemandangan itu saya langsung sedih dan iri berat. Bukan karena pengen punya tab warna putih, tapi teringat kenangan waktu kecil.

Puluhan tahun lalu, saya ngefans banget dengan lagu "Balonku Ada 5". Saya tak bosan-bosannya mendengarkan lagu ciptaan AT Mahmud itu. Tapi, ada yang membedakan saya dan Dafa dalam menikmati lagu tersebut.

Berikut sembilan proses yang harus saya lalui demi mendengarkan "Balonku Ada 5" sekitar 30 tahun silam.

1. Saya harus punya kaset lagu anak-anak. Harganya tidak murah.

2. Kalau tidak punya kaset, terpaksa pinjam teman atau tetangga. Risikonya tidak dipinjami. Atau minimal jadi bahan rasan-rasan tetangga.

3. Saya harus punya tape recorder. Kalau yang ini sulit minjemnya. Jaman segitu, tape recorder termasuk barang mewah.

4. Menyalakannya harus dengan mencolokkan kabel. Saya beberapa kali kesetrum gara-gara salah posisi (alhamdulillah slamet).

5. Kalau listrik mati, harus pakai batre atau aki. Harganya pun tidak murah.

6. Mendengarkannya harus statis alias tidak bisa ditenteng ke mana-mana. Kalau di ruang tamu, ya terus di ruang tamu.

7. Kalau ingin mendengar lagu yang ada di tengah pita, saya harus me-rewind atau fast forward (FF). Ini butuh skill khusus. Kalau belum ahli, sulit sekali bisa ngepaskan posisi lagu.

8. Untuk ngirit listrik atau batre, tak jarang saya rewind atau FF dengan cara manual, yakni menggunakan pulpen/pensil. Diputer-puter terus sampai tangan kanan dan kiri kemeng.

9. Mimpi buruk jika pita kaset tersangkut di dalam tape. Butuh waktu lama untuk mencutiknya dari mesin pemutar. Risiko terbesar, pita kaset putus. Kalau sudah begini, "plak" kena omelan orangtua dari dhuhur sampai isya'.

Itulah 9 ritual ketika saya ingin mendengarkan "Balonku Ada 5". Benar-benar berat dan berisiko tinggi jika dibanding Dafa, anak pertamanya Umar.

Kesimpulannya:

Dunia sudah dan terus akan berubah. Sekali lagi. Dunia sudah dan terus akan berubah.

Yang dulu mahal dan sangat butuh perjuangan, sekarang gratis dan simpel.

Dafa bisa mendengarkan lagu "Balonku Ada 5" tanpa beli kaset, batu batre, tape recorder, nyolokin listrik, atau puter-puter pita kaset pakai pensil/pulpen.

Bapaknya cukup download lagu gratis dari Google Play, sentuh layar pakai jari, dan lagu pun mengalun merdu. Benar-benar tanpa keringat.

Wooooiiii, pembaca. Banguuuun, banguuuun!. Dunia sudah dan terus akan berubah. Benar-benar sudah berubaaaaaahhh. Wooooiiiiii..!!!

Lihat Kodak. Perusahaan kamera tertua di dunia itu resmi tutup setelah beroperasi lebih dari 100 tahun.

Ratusan koran di dunia juga sudah gulung tikar.

Nokia, alhamdulillah barusan tenang di alam baka.

BlackBerry kabarnya tengah bersiap beli kain kafan.

Sonny, Panasonic, Sharp makin megap-megap menghadapi gempuran merk Korea dan China.

Ngapain kita susah-susah beli kaset, batre, dan tape recorder hanya untuk mendengarkan lagu "Balonku Ada 5"?

Ngapain kita puluhan tahun bermacet ria hanya untuk UMR? Belum lagi bertengkar sama teman kantor karena rebutan jabatan?

Ngapain kita melakukan aktivitas yang gak worth it hanya untuk bertahan hidup?

Lihat Maicih, gak butuh tetek bengek mereka bisa meraup uang miliaran rupiah.

Lihat Terselubung, hanya bikin web dan nulis ngalor-ngidul dapat iklan ratusan juta.

Lihat anak-anak muda di Tanah Abang, dengan jualan online udah bisa dapet 10 x UMR.

Lihat Tuyul, eh salah, Tukul, gak sekolah tinggi tapi punya deposito miliaran.

Lihat Shinta & Jojo, gak pake ngarang lagu, belajar vokal, apalagi menguasai alat musik, bisa terkenal dan mendulang uang ratusan juta.

Fajar, sahabat saya waktu di Jawa Pos, Seputar Indonesia, dan Harian Merdeka suatu siang pernah berkata, "Gila sekarang Gem. Dulu orangtua harus ngomelin kita supaya jadi dokter, insinyur, atau arsitek. Anak-anak sekarang gak harus jadi seperti itu udah bisa kaya raya."

Ya, dunia sudah dan akan terus berubah. Itulah mengapa di awal coretan saya mengaku sedih dan iri berat dengan Dafa, anak pertamanya Umar.

Saya merasa dia "mengejek" dengan sangat sopan, "Emang enak Om status quo?

Emang enak Om jadi batur?

Emang enak Om terus-terusan diomeli juragan tapi gaji gak mundak-mundak?

Emang enak Om "jual diri" buat kesejahteraan orang lain?

Emang enak Om sikut-sikutan ama temen kantor?

Emang enak Om macet panjang cuma buat ngumpulin recehan?

Sik enak jamanku to Om? Tinggal klik, klik, klik, joget deh."

Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya...
(Anda teruskan sendiri syairnya. Happy singing :)

0 Response to "Aku, Dafa, & Balonku Ada 5"

Post a Comment