Menulis

Menulis

Perjalanan Mencari Makna Pendidikan

Alhamdulillah, Allah memberi saya kesempatan menjadi wartawan selama 15 tahun. Dalam kurun itu, saya berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai kalangan dari mulai pengamen sampai presiden.

Di ranah kriminal, saya pernah mewawancarai ratusan penjahat, di antaranya Sumanto (sang pemakan mayat dari Purbalingga) dan Heri Bes (satu keluarga di Purwokerto yang nekat membunuh dan memutilasi seorang preman).

Saya juga pernah liputan dunia malam di Jogjakarta yang sering menyeret wanita baik-baik ke dalam bisnis prostitusi.

Pernah juga saya liputan orang-orang kaya yang tega menyiksa pembantu atau menganiaya orang miskin. Di antara korban ada yang sampai lumpuh dan buta.

Di ranah politik, saya pernah mewawancarai puluhan anggota dewan dari berbagai parpol. Tak sedikit di antara mereka yang akhirnya terjerat kasus korupsi, bahkan dipenjara secara berjamaah.

Pun di ranah pejabat. Saya sering bertemu mafia yang tega kongkalikong untuk memainkan proyek haram. Mereka tak pernah puas mengeruk kekayaan yang bukan haknya.

Di sisi lain, saya pernah ditugaskan ke luar negeri. Di Jepang, saya melihat betapa masyarakat bisa hidup tertib dan teratur. Di Singapura juga tak jauh beda. Kehidupan masyarakat di sana jauh lebih maju daripada di Indonesia.

Hati kecil saya bertanya, apa yang menyebabkan semua itu?

Mengapa ada negara maju dan negara tertinggal?

Mengapa ada orang yang sangat baik tapi juga ada yang keji?

Mengapa sebagian orang kaya tetap serakah mencuri uang rakyat?

Mengapa Timnas Indonesia selalu kalah? (yang ini agak nyimpang tapi bikin geregetan juga he he he..)

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya berguru ke beberapa orang, termasuk ustadz dan ustadzah. Saya coba buka Alquran dan Hadist secara mendalam. Hasilnya luar biasa. Ilmu Allah dan Rosul sempurna tiada banding.

Namun, ada satu ironi yang sering saya temukan di lapangan. Meski banyak ustadz dan ustadzah, mayoritas muslim di Indonesia tetap terpuruk. Saya merasa ada "something missing" di dalam keilmuan sebagian masyarakat. Bukan pada konten ajarannya, tapi metodelogi dalam mendidik.

Sampai akhirnya, saya berkenalan dengan Pendiri sekaligus Direktur Sekolah Alfalah, Ciracas, Jaktim, drg. Wismiarti Tamin. Seorang sahabat (yang anaknya Sekolah di Alfalah) memperkenalkan saya dengan wanita yang akrab disapa Bu Wismi itu.

Kepada Bu Wismi, saya ceritakan pengalaman hidup saya. Tak lupa saya sampaikan beragam pertanyaan yang sejak lama mengendap di hati.

"Pak Gem ikut PPOT saja. Gratis, tidak usah bayar," kata beliau setelah menjawab aneka pertanyaan dari saya.

PPOT singkatan dari Program Pelatihan Guru dan Orang Tua. Program ini terdiri atas enam tahapan dari mulai mengenal apa dan siapa manusia, tujuan pendidikan, hingga metodelogi dalam mendidik.

Dari PPOT 1-6, akhirnya semua pertanyaan saya terjawab. Ternyata, aneka macam kehidupan pada dasarnya terjadi karena perbedaan isi kepala (otak). Apa yang ditanam di dalam otak, itulah kehidupan seseorang. Jika yang ditanam banyak hal negatif, maka kehidupan seseorang akan negatif. Jika yang ditanam banyak positif, insyaAllah kehidupannya akan positif.

Dengan kata lain, otak (kecerdasan) yang tidak dibangun secara utuh, akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak utuh. Kalau ingin manusia yang utuh, maka otaknya harus dibangun secara utuh sejak di dalam kandungan.

Pendidikan yang utuh ibarat pondasi gedung pencakar langit. Jika pondasinya benar dan kuat, insyaAllah gedung akan berdiri gagah, tak mudah diterpa badai, bahkan gempa sekalipun.

Jazakumullahu khaira, terima kasih untuk semua guru yang telah mendedikasikan hidupnya demi menyebarluaskan ilmu Allah dan Utusan-Nya.

0 Response to "Perjalanan Mencari Makna Pendidikan"

Post a Comment