Menulis

Menulis

Ketika Gagal Jadi Mahasiswa ITS



Seperti kisah-kisah sebelumnya, cerita ini termasuk lebay dan norak :) Namun, buat yang mau baca, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Minimal tombo ngantuk plus ngisi waktu, he he he :)

Begini kejadiannya. Usai menamatkan bangku SMA, saya langsung tancap gas mendaftar UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Sebagai bonek sejati, hanya ada dua kampus di kepala saya. Pertama ITS (Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya) dan kedua Unair (Universitas Airlangga).

Yup, dua kampus ciamik itu memang jadi kebanggaan arek-arek Suroboyo. Istilah kata, kalau gak kuliah di sana, bukan kuliah namanya, tapi, dodolan bakso, he he he (maaf ini bukan menghina kampus lain lho, cuman mewakili spirit masa muda saya).

Dengan semangat 45, saya mendaftar di dua kampus itu. Bersama beberapa teman SMA, kami merajut asa "mencuri" bangku ITS atau Unair.

Selain masalah ego dan kebanggaan, kuliah di ITS atau Unair biayanya lebih murah jika dibanding kampus swasta. Zaman segitu, pemerintah masih memberikan subsidi besar-besaran untuk PTN.

Sayang, meski sudah berusaha dan berdoa, Allah tidak menghendaki saya belajar di dua kampus elite itu. (inna lillahi wa inna ilaihi rojiun :(

Bisa ditebak, semangat belajar saya langsung hilang bak ditelan Godzila. Saya males jika harus kuliah di luar ITS atau Unair. Mending jualan bakso, he he he :)

Akhirnya saya memutuskan untuk tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Saya berencana cari kerja dan membantu keuangan keluarga.

Namun di pihak lain, orangtua, terutama Ibu, melarang saya jadi karyawan, apalagi bakul bakso. Beliau benar-benar ingin melihat saya meraih gelar S1.

"Mam, Ibu ingin salah satu anak Ibu ada yang jadi sarjana. Masak empat anak Ibu nggak ada yang jadi sarjana sama sekali. Ibu yakin kamu bisa jadi sarjana. Gak masalah kuliah di swasta, yang penting rajin belajar sampai bisa diwisuda," nasihat beliau suatu hari.

Mendengar itu, hati saya langsung luluh. Di mata saya, Ibu adalah makhluk paling mulia. Beliau harus ditaati jika perintahnya tidak melanggar agama.

Berbekal taat pada orangtua, saya daftar kuliah di UPN Veteran (Universitas Pembangunan Nasional). Saat itu, UPN masih menyandang status negeri kedinasan. Ada potongan khusus bagi anggota TNI/Polri beserta keluarganya.

Alhamdulillah saya punya pakde yang menjadi tentara. Alhasil, saya dapat diskon yang lumayan besar.

Lima tahun persis saya menimba ilmu di Teknik Industri, UPN. Saya lulus dengan IP pas-pasan. Meski demikian, saya tetap boleh ikut wisuda bersama ratusan sarjana lainnya. horeeee, makan-makan :)

****

Beruntung satu semester sebelum lulus kuliah, saya sudah bekerja di Jawa Pos group sebagai wartawan junior. So, pasca wisuda, saya tidak perlu cari kerja, tapi meneruskan karir sebagai kuli tinta.

Alih-alih pengen berkarya di bidang teknik, eh malah keterusan jadi wartawan sampai sekarang. Yang menarik, justru profesi di media yang membawa saya kembali ke kampus.

Ketika saya bergabung dengan Campus Life Magazine milik Lippo Group, saya mendapat tanggung jawab untuk masuk ke kampus-kampus.

Bukan sebagai mahasiswa, melainkan jadi salah satu pelaksana program Campus Face. Event prestisius ini mirip Abang None di Jakarta atau Cak dan Ning di Surabaya.

Hanya saja, Campus Face tidak hanya fokus pada penampilan tapi juga otak dan akhlak. Makanya slogan Campus Face adalah 3B, yakni Brain, Beauty, and Behaviour.

Selain UGM, Atmajaya, Sahid, dan UI, kampus yang harus saya kunjungi adalah Unair dan ITS. Ya, dua kampus sangar yang 17 tahun lalu membuat saya "patah hati" :(

Khusus di ITS, saya tak hanya jadi penyampai sambutan yang memaparkan what Campus Face is all about, tapi juga mengisi materi jurnalistik untuk mahasiswa Teknik Kimia.

Wow, gue jadi dosen ITS bro. Asli, serius, gak ngapusi, bener-bener jadi dosen di ITS. Kampusnya anak-anak pinter. Kampus yang terkenal dengan motto Cuk (cerdas, ulet, kreatif). Kampus yang dulu gak kolu karo aku, he he he (lebaynya mulai kumat).

Meski hanya beberapa jam jadi "dosen" jurnalistik, tetap saja itu adalah momen yang sangat berarti bagi saya.

Momen di mana saya teringat kembali perjuangan waktu susah payah ikut UMPTN.

Momen di mana saya kecewa berat karena nama saya tak masuk daftar anak-anak yang diterima di ITS.

Momen di mana saya terngiang nasihat Ibu yang mendesak saya untuk jadi sarjana.

Momen saat kali pertama saya melihat konser grup band rock "Voodoo" di ITS pada tahun 1994 (yang ini gak nyambung sama kisah di atas :)

Momen ketika saya terpana melihat mahasiswi cantik berkaus hitam dari Teknik Mesin ITS di konser Voodoo (ini lebih gak nyambung lagi ;).

Apa hikmah di balik cerita alay, lebay, dan norak ini?

Salah satu yang saya pahami adalah jangan pernah berhenti sekalipun kita merasa kalah.

Karena Sang Maha Kaya punya 1001 macam cara untuk mengabulkan mimpi-mimpi kita. Bahkan memberi yang lebih indah dari mimpi itu sendiri.

Salam perjuangan untuk semua The Gemers. Tetap semangat meski hati terluka :)

1 Response to "Ketika Gagal Jadi Mahasiswa ITS"