Menulis

Menulis

Sejenak Bicara Kematian



Coretan kali ini mungkin agak klasik, kurang menarik, atau bahkan menyeramkan. Tapi, saya kira ini penting untuk dibahas. Setidaknya untuk bahan berpikir dan bersikap terkait kesuksesan yang sedang sama-sama kita perjuangkan.

Coba perhatikan kata-kata sebagian besar motivator berikut ini:

"Sukses adalah tahu apa yang Anda inginkan, kemudian Anda berjuang segenap hati dan tenaga untuk meraihnya."

Dari satu kutipan singkat ini lalu dikembangkan menjadi bermacam-macam kalimat seperti:

"Anda harus menulis semua cita-cita yang ingin dicapai. Tempel di dinding atau pintu supaya mudah dilihat. Kalau perlu dihapalkan lalu dilafalkan dengan keras setiap pagi dan malam."

"Kenali kekuatan dan kelemahan diri untuk meraih sukses. Jangan lupa berdoa dan terus berusaha. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda."

"Bagaimana Kamu bisa sukses kalau malas-malasan, gampang mengeluh, dan menyalahkan orang lain? Ayo bangkit dan kejarlah mimpi-mimpimu! Ingat, no pain no gain."

Dll kutipan sejenis yang intinya "memaksa" diri untuk menuju satu titik yang dicita-citakan.

Apa titik itu?

Setiap kita berbeda jawabannya. Ada yang lebih senang menyebut titik itu adalah rumah, mobil, jalan-jalan ke luar negeri, dan deposito.

Ada lagi yang mendefinisikan sebagai kesehatan, panjang umur, pasangan setia, banyak anak, dan keluarga bahagia.

Ada juga yang mengartikan karir, popularitas, jabatan, dan kursi.

Sebagian orang menafsirkan dengan bisnis, provit besar, dan usaha yang terus berkembang.

Ujung-ujungnya adalah hidup senang, bahagia, jauh dari susah, musibah, dan malapetaka.

Saya sendiri senang memikirkan dan memperjuangkan masa depan yang gilang gemilang. Namun, ada satu hal yang menyita perhatian saya, bahkan sampai sekarang.

Ketika Ibu saya sakaratul maut pada Agustus 2013 silam, mendadak saya dihadapkan pada definisi hidup yang berbeda.

Jika biasanya cita-cita identik dengan hidup bahagia seperti yang tertera di atas (rumah, mobil, deposito, duit, bisnis, sehat, panjang umur, pasangan setia, anak dll), malam itu pandangan saya tiba-tiba berubah.

Dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan Ibu tercinta terengah-engah melihat batas antara dunia dan alam baka.

Mata beliau sangat gelisah hingga setiap insan yang menyaksikan ikut larut dalam kesedihan yang begitu mendalam.

Saya tidak tahu apa yang sedang Ibu lihat ketika itu. Yang pasti, sekitar dua jam beliau nazak, malaikat maut datang dan membawa beliau pergi.

Saya langsung bertanya ke mana Ibu pergi?

Apakah beliau masih bisa melihat kami?

Apakah Ibu menangis, tersenyum, atau kesakitan karena penyakitnya?

Entahlah, saya sendiri tidak tahu banyak tentang hal misterius itu.

Yang pasti, setiap kita, saya dan Anda, akan dihadapkan pada situasi seperti itu. Situasi di mana kita berada di batas antara hidup dan mati.

Cepat atau lambat, karena sakit atau kecelakaan, secara sendiri atau bersama-sama, siap atau lengah, mendadak atau perlahan, masing-masing kita akan pergi dan melanjutkan perjalanan ke dunia lain. Dunia yang sama sekali berbeda dimensinya dengan sekarang. (QS Ali Imron 185)

Kita sepakat, rumah, mobil, deposito, pasangan setia, anak, duit, bisnis, jalan-jalan ke luar negeri, dll adalah hal-hal yang bisa menyenangkan dan membahagiakan di dunia ini.

Lalu, apa yang membuat kita bahagia di alam baka? Alam tempat Ibu saya, kerabat, dan sahabat kita yang telah pergi.

Sebagian orang berani menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk menjawab pertanyaan ini.

Sebagian lainnya hanya sesekali memikirkannya.

Ada juga yang bahkan tidak sedikitpun mau menggubrisnya.

Menarik kalimat yang diukir Baginda Umar bin Khattab RA di cincin beliau.

"Kafa bilmauti wa'idzan ya Umar." (cukup kematian sebagai peringatan wahai Umar)

Seperti kata sebagian besar motivator di awal tulisan ini "Sukses adalah tahu apa yang Anda inginkan, kemudian Anda berjuang segenap hati dan tenaga untuk meraihnya."

Semoga kita termasuk orang-orang yang diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

0 Response to "Sejenak Bicara Kematian"

Post a Comment