Menulis

Menulis

Melihat Dunia dari Luar Angkasa


Hari gini bicara surga-neraka? Ke laut aja Cak Gem! Sekarang cari duit susah. Sembarang kalir larang. Bayaran gak mundak-mundak. Apalagi tahun depan mau ada Masyarakat Ekonomi Asia, wis tambah abot urip Cak Gem.

Lak ngomong surga-neraka di masjid ae Cak Gem. Yo minimal di mushola atau TPQ. Jangan di FB Cak Gem. Gak payu. Gak menarik blas.

Hmmmm, harus seperti itu ya? Surga neraka hanyalah cerita klasik yang tak lagi punya tempat di kehidupan modern seperti sekarang.

Memang tidak sip, di saat lagi sibuk kerja, kerja, dan kerja, eh tiba-tiba ada yang menyeru untuk sholat, baca Alquran, dzikir, puasa, iktikaf, dan sejenisnya. Belum lagi ngelarang ini itu. Gak boleh mabuk, judi, free sex, dll.

Weleh, weleh, weleh, ora cucok bro. Enjoy your life. Gak usah nglarang-nglarang.

Baiklah teman-teman, bagi yang punya anggapan seperti itu, boleh-boleh saja. Anda punya hak untuk menentukan akan ke mana Anda melangkah. Namun, jika punya waktu, coba baca coretan ini sampai selesai.

Siapa tahu ada manfaat yang bisa dipetik. Atau setidaknya Anda bisa melihat jalan pikir orang-orang dengan cara pandang bird eyes, helicopter view, atau penglihatan ruang angkasa.

Jadi begini, menurut saya, manusia dari jaman dulu sampai kiamat, sebenarnya tak bisa lepas dari surga dan neraka. Salah satu bukti otentik adalah ambisi paling dasar manusia untuk hidup bahagia dan menghindari susah.

Kita bekerja, dagang, bisnis, nguli, bakulan, main saham, sekolah, olah raga, istirahat cukup, makan teratur, banyak membaca, dan sejenisnya adalah untuk mencari bahagia.

Di saat yang sama, kita berjuang mati-matian agar tidak susah. Sebisa mungkin kita bentengi diri dan keluarga dari berbagai virus penderitaan. Sampai-sampai sabun yang dipakai pun harus ada antisepticnya.

Surga neraka sejatinya mewakili keinginan primitif manusia. Surga adalah kebahagiaan, neraka adalah kesusahan.

Nah, sekarang kita pakai bird eyes, helicopter view, atau pandangan luar angkasa. Semakin tinggi kita naik, semakin terbentang cakrawala yang terlihat.

Sungai yang dilihat dari dekat akan sangat jernih dan beriak. Sementara dari angkasa, sungai hanya berupa garis liuk-liuk warna putih (kalau airnya jernih).

Ya, semakin tinggi kita terbang, semakin tidak terlihat sungai itu.

Sama seperti kehidupan saat ini, jika kita tidak pernah "terbang", yang kita lihat hanyalah riak-riak kehidupan. Pagi bangun, siang kerja/sekolah, sore santai, malam tidur, dll. Begitu seterusnya sampai akhirnya mati.

Nah, sekitar 1400-an tahun yang lalu, seorang pria buta huruf dari padang pasir mendadak dijemput buroq. Buat yang suka nonton film alien, kendaraan ini melaju cepat melebihi kilat.

Dalam waktu semalam, buroq berhasil membawa pria itu melesat hingga ke langit ketujuh kemudian kembali lagi ke bumi.

Pria bernama Muhammad SAW itu dipaksa Pencipta Alam untuk menggunakan pandangan luar angkasa. Alhasil, riak-riak kehidupan tak lagi terlihat. Yang ada hanyalah surga dan neraka. Rumah masa depan bagi seluruh umat manusia dari Adam sampai tutupnya jagat raya.

Isro' mi'roj emang nyata Cak Gem? Hmmm, coba deh baca buku-buku tentang teknologi kedirgantaraan.

Sampai detik ini manusia sudah bisa membuat wahana dengan kecepatan 215.000 km per jam. Kendaraan bikinan NASA itu dinamai Juno dan sudah mendarat di Mars.

Kalau manusia bisa membuat kendaraan secepat itu, lalu bagaimana wahana yang didesain, dirancang, dan diproduksi langsung oleh Sang Maha Jenius? Sudah barang tentu jauh lebih dahsyat. Logikanya, bikin kilat dan cahaya saja bisa, apalagi yang lebih dari itu.

Seperti coretan saya di awal, manusia selalu mencari bahagia dan menghindari susah. Di akhirat pun Dia membuat hal serupa, ada bahagia, ada sengsara.

Sayang, tidak semua orang mau dan mampu memaksa diri merengkuh hidup bahagia yang kekal abadi (tanpa kematian). Banyak yang merasa kenikmatan alam dunia adalah satu-satunya bagi umat manusia.

Semoga kita termasuk hamba-hamba yang masuk surga, selamat dari neraka.

0 Response to "Melihat Dunia dari Luar Angkasa"

Post a Comment