Menulis

Menulis

Melirik Transformasi Media dari Masa ke Masa



Lebih kurang 21 tahun yang lalu, tepatnya pada 1993, saya untuk pertama kalinya, masuk ke dunia bisnis media.

Saat itu, saya duduk di bangku kelas 1 SMA. Bisa dibilang usia saya masih sangat muda untuk ukuran orang yang mau terjun ke dunia kerja.

Hanya saja, saya mengawali karir media bukan sebagai wartawan, redaktur, fotografer, atau bahkan pemilik media, melainkan tukang loper koran, he he he. (kring, kring)

Yup, sesuai namanya, profesi ini tugasnya "ngelop" alias mengantar koran kepada pelanggan setia.

Untuk koran pagi, jam kerjanya sebelum adzan subuh hingga menjelang dhuha. Sedangkan untuk koran sore, jam kerjanya menjelang ashar hingga maghrib.

Ada beberapa motivasi mengapa saya melamar jadi tukang koran. Pertama, tentu saja urusan doku. Dari mengantar dan jualan koran, kita bisa mendulang rupiah.

Alasan kedua untuk menjaga kebugaran. Dengan nggenjot sepeda belasan kilometer tiap hari, fisik saya sebagai pemain bola kurang profesional bisa tetap terjaga. Minimal kaki kuat dan kekar laiknya tukang becak bisa saya miliki :)

Ketiga, membaca berita gretongan. Dengan jadi tukang koran, saya bisa lebih dulu menikmati aneka berita yang tertuang di koran, tabloid, dan majalah. Maklum bro, jaman dulu belum ada internet.

Tak ada yang luar biasa ketika saya bertahun-tahun menyandang status sebagai pemuda loper koran. Hanya saja, ada beberapa kejadian lucu yang teringat sampai sekarang.

Pernah suatu saat saya tak sengaja menimpuk pelanggan dengan koran. Lantaran hari masih gelap, saya tak melihat kalau pemilik rumah sedang membungkuk mencuci mobil.

Dengan gerakan khas laiknya pemain basket, saya melempar koran dengan kecepatan sedang. Wuzzz, alhamdulillah lemparan saya meluncur mulus melewati pagar rumah.

"Buk," mendadak suara lumayan keras terdengar di telinga saya. Belum sempat tahu apa yang terjadi, tiba-tiba dari balik pagar terdengar teriakan keras.

"Woi, ati-ati kalo nglempar koran," kata bapak pemilik rumah.

Astaghfirullahaladzim, ternyata lemparan saya mengenai bapak pemilik rumah. Dengan kecepatan tinggi, saya pun bablas meninggalkan lokasi.

Keesokan harinya, saat saya kembali ke TKP untuk mengantar koran, si bapak sudah nunggui di depan rumah. Waduh gawat, siap-siap kena semprot nih.

Dengan wajah sangar dia pun berujar, "Dik, lain kali kalo lempar koran lihat-lihat dong. Jangan asal timpuk aja. Kalau ada orang di dalam gimana?"

"Maaf Pak, saya kemarin gak sengaja. Saya kira gak ada orang Pak," kata saya dengan wajah memelas.

Alhamdulillah, meski kena timpuk, bapak tadi tak sampai memutus langganan korannya. Alhasil, pendapatan saya tidak berkurang (horeeee, dompet gak jadi kempes :)

Selain menimpuk pelanggan, saya juga pernah dikejar anjing. Kalau yang ini, sebagian besar tukang koran pernah mengalaminya. Terutama jika sedang beroperasi di perumahan mewah.

Namanya juga anjing gak sekolah, ya jadinya galak dan suka mengganggu orang lain, termasuk tukang koran yang penampilannya memang mencurigakan ;)

Pernah juga saya dimarahi pelanggan gara-gara koran yang saya lempar masuk ke comberan. Apes, tenan. Keuntungan gak seberapa, tapi disuruh bayar ganti rugi.

Yang menarik ketika suatu pagi saya mampir ke rumah teman SMA bernama Mira Savira. Rumahnya di kompleks perumahan Tenggilis Mejoyo. Sembari loper koran, saya berniat meminjam buku matematika. (he he he, modus)

Saat berhenti tepat di depan pagar, tiba-tiba seorang lelaki tua berkacamata menghampiri saya. Dengan santai dia berkata, "Maaf Dik, saya sudah langganan koran."

Glodak, ternyata bapaknya Mira mengira saya mau nawarin dagangan. Weleh, weleh, weleh, mbok ya ditanya dulu pak saya ini mau ngapain.

"Bukan Pak. Saya bukan mau nawarin koran. Saya mau ketemu Mira Pak. Mau pinjam buku. Saya teman sekelasnya Pak," kata saya dengan suara agak grogi.

"Ohh, saya kira mau nawarin koran. Silakan tunggu di sini, saya panggilkan Mira sebentar," tutur sang bapak sembari meninggalkan TKP.

Benerapa menit kemudian, Mira pun menemui saya dan meminjami buku yang saya perlukan. Alhamdulillah, akhirnya bisa dapat pinjaman. Ngirit, gak perlu beli. Thanks Mbak Mira. Kamu baik banget deh :)

*****

Lepas dari profesi tukang koran, karir saya ternyata tidak jauh dari media. Sebelum lulus kuliah, saya diterima kerja di Jawa Pos group sebagai wartawan the Indonesian Daily News (IDN).

Sejak itu, saya melanglang buana di dunia pers hingga sempat tinggal di Jogjakarta dan sekarang hinggap di Jakarta.

Selain Jawa Pos group, saya pernah nguli di Seputar Indonesia, Harian Merdeka, Gomobile, Berita Satu Media Holdings, dan Oomph/Smartfren Store. Yang terakhir disebut adalah media kreatif berbasis Android milik pengusaha asal Singapura.

Sebagai praktisi media, ada beberapa catatan saya yang mungkin bisa jadi bahan pengetahuan. Syukur-syukur bisa bermanfaat.

Untuk sementara, saya tak membahas gaji dan masa depan wartawan (he he he, rahasia perusahaan rek). Saya lebih fokus pada transformasi media dari masa ke masa.

Jika dulu sebelum tahun 2005, media identik dengan koran, tabloid, dan majalah, sekarang semua bergeser ke digital. (ya iyalah Cak Gem, semua sudah tahu itu)

Dampak dari transformasi ini, salah satunya, membuat berita makin sulit dijual. Kehadiran portal news macam Detik.com terbukti sukses mengubur masa-masa indah media cetak.

Di ranah kuli tinta, profesi wartawan makin lama makin "terpinggirkan". Coba amati sekeliling kita. Hampir semua orang bisa jadi "reporter".

Berbekal smartphone murahan, orang bisa motret atau merekam sebuah peristiwa, lalu menyebarluaskannya di media sosial (alur kerja ini 75% identik dengan profesi wartawan)

Di sisi konten, pembaca menuntut artikel yang tajam dan tuntas. Jika membahas otomotif, ya benar-benar dikupas dari mulai setir hingga roda.

Kalau mau menulis tentang ponsel, ya dibabat habis dari mulai harga, teknologi, sampai spesifikasinya.

Kondisi ini memaksa media menjadi sangat segmented. Kehadiran koran olahraga "Top Skor" dan "SuperBall" jadi bukti nyata betapa masyarakat ingin dipuaskan secara khusus.

Tak heran jika dalam perjalanannya, pelaku media menuntut jurnalis berkembang jadi jour-analist.

Artinya, wartawan bukan sekadar bisa menulis berita, tapi mampu mengolahnya dalam bentuk yang komprehensif dan mendalam. Bahkan, untuk beberapa kasus tertentu, wartawan harus berani menampilkan What's next atau What will happen after this?

Ke depan, menurut penerawangan saya, berita/news/artikel akan menyatu dengan aplikasi berbasis komunitas. Tidak berdiri sendiri seperti sekarang.

Kalau pun ada yang bertahan, mungkin hanya media jadul atau mainstream macam Kompas, Jawa Pos, Sindo, dan sejenisnya. Mereka inilah yang akan setia menggunakan pakem jurnalistik.

Adapun media lain yang medioker atau yang baru muncul akan memilih bermain di ranah kreatif, yakni menggabungkan media dengan komunitas.

Dalam posisi ini, wartawan bukan lagi satu-satunya mesin penghasil berita, melainkan hanya bagian kecil dari lalu lintas informasi yang datang silih berganti. Urusan jurnalistik dan EYD, media jenis ini lebih senang menggunakan bahasa gaul.

Menarik mengikuti perkembangan arah media akhir-akhir ini. Sebagai penulis buku dan mantan jour-analist, saya bermimpi bisa membuat platform media yang up-to-date. Media yang bisa memenuhi kebutuhan manusia modern saat ini.

Semoga :)

0 Response to "Melirik Transformasi Media dari Masa ke Masa"

Post a Comment