Menulis

Menulis

Setan Saja Bisa Dijadikan Guru



Semua orang pasti ingin menjadi pribadi yang berilmu. Namun, tidak semua orang berhasil meraihnya.

Coretan ini mengulas salah satu penyebab kegagalan kebanyakan orang dalam mencari ilmu, khususnya ilmu hikmah dan kebenaran.

Semoga kita dijauhkan dari kebodohan, kesombongan, kelemahan, dan kejelekan diri.

----------

"Mencari ilmu wajib hukumnya bagi setiap orang Islam."

Sabda Nabi Muhammad SAW di hadits Sunan Ibnu Majah No. 224  ini sangat fenomenal. Hampir setiap muslim hapal dan tahu makna hadist ini. Meski secara hakiki, ilmu yang dimaksud adalah ilmu akhirat, namun imbas hadist ini juga bisa dirasakan faedahnya untuk kehidupan duniawi.

Ya, ilmu benar-benar roh kehidupan. Dengan ilmu, orang yang bodoh jadi pandai, yang malas jadi rajin, yang miskin jadi kaya, yang putus asa jadi termotivasi, yang sakit jadi sehat, yang kuper jadi pinter, dan yang tersesat jadi tercerahkan.

Dalam coretan ini, saya tidak akan fokus pada macam-macam ilmu dan fungsinya. Saya lebih menitikberatkan pada salah satu jalan terjal yang harus dilalui para pencari ilmu.

Sepanjang pengetahuan saya, ada satu momok menakutkan bagi yang ingin menguasai ilmu, terutama ilmu hakiki atau ilmu tentang kebenaran. Momok tersebut bukanlah Momo "Geisha", namun ego alias ke-aku-an.

Inilah salah satu ganjalan terbesar bagi mereka yang ingin lebih pandai, dan lebih pandai, dan lebih pandai.

Sejarah membuktikan, ego menghalangi (atau setidaknya menghambat) orang untuk menghapus kebodohan. Ego membuat orang stag dan tak lagi mau melangkah.

Ego merasa benar sendiri, ego merasa ilmunya sudah tinggi, ego orang/pihak lain lebih bodoh, ego karena punya latar belakang yang lebih hebat, dll.

Ada kejadian unik yang mungkin bisa dijadikan bahan cantolan. Pernah suatu hari, istri saya melarang saya untuk dekat, apalagi berguru pada seorang ustadz muda.

"Gak usah deket-deket sama dia. Aku gak suka. Ibu-ibu di sini hampir semuanya sebel sama dia," kata istri saya dengan wajah mbesengut.

Dik punya selidik, ternyata alasan utama istri melarang saya adalah mas ustadz muda baru saja berpoligami. Rupanya, istri saya khawatir saya ikut-ikutan jejak mas ustadz muda.

Inilah yang saya sebut ego. Karena takut suaminya menikah lagi, sampai-sampai menutup diri mengambil ilmu dari mas ustadz. Padahal, menurut saya, mas ustadz ini sangat cerdas.

Dia kritis, detil, dan menguasai banyak disiplin ilmu. Jarang-jarang saya menemukan ustadz muda yang punya kemampuan analisis seperti beliau.

"Siapa Cak Gem ustadz muda itu? Pasti Aa Gym ya?"

Halah, begitu saja ditanyakan bro. Kepo bingitz sih. Bukan, bukan Aa Gym. Beliau sama sekali gak terkenal. Orangnya biasa-biasa saja. Belum pernah ngajar di televisi.

Kembali ke pokok pembahasan. Sikap istri saya inilah yang dinamakan ego. Rasa khawatir akan terjadi poligami menutup ruang datangnya ilmu, minimal dari ustadz muda yang pandai tadi.

Contoh lain ego adalah keputusan beberapa kelompok ta'lim yang melarang pengikutnya mencari ilmu dari sumber lain.

Untuk kondisi tertentu, kebijakan ini sangat tepat, yaitu melindungi agar para murid, terutama yang masih labil, untuk tidak terpengaruh.

Saya pribadi sangat mendukung keputusan seperti ini. Istilah kata, belajar dulu sama satu guru, jika sudah mahir, baru menambah ilmu dari guru lainnya. Karena bila langsung belajar dari banyak sumber, dikhawatirkan justru akan membuat murid bingung.

Ingat bro, tidak semua murid cerdas seperti Anda. Saya sendiri pernah punya sahabat yang berkali-kali diajari materi oleh guru, tapi tetap saja dia bingung (kasihan, kasihan, kasihan).

Namun, pada level tertentu, khususnya bagi para pengajar profesional, peneliti, dan cendekiawan, larangan berguru dari sumber ilmu yang berbeda justru bisa menutup datangnya gelombang hikmah yang notabene merupakan barang hilangnya orang iman.

Kerelaan mau belajar dari orang/pihak lain, insyaAllah bisa menjadikan hasanah ilmu semakin luas dan dalam. Alhasil, wisdom atau kebijaksanaan (yang menjadi salah satu tujuan penting memperdalam ilmu) lebih bisa tercapai.

Sekarang mari kita uji pola pikir tadi di kehidupan nyata. Kita tahu di Indonesia sangat berbeda-beda. Ada Islam, ada Kristen. Ada Asy'ari, ada Wahabi. Ada TNI, ada Polri. Ada Prabowo, ada Jokowi, dll yang sejenis.

Kutub-kutub ini memiliki latar belakang dan warna yang berbeda. Bahkan, tak jarang pendukung dari kedua kubu saling debat, saling mencaci, hingga terlibat kekerasan fisik. (Anda bisa mendalami masalah ini di coretan saya berjudul "Memahami Sudut Pandang").

Lalu bagaimana sikap terbaik para pencari ilmu?

Merasa diri paling pintar lalu menyalahkan yang lain?

Atau diam saja tanpa melakukan apa-apa?

Menurut saya, membuka diri secara proporsional adalah kunci untuk bisa mengerti dan memahami orang/pihak lain yang berbeda dengan kita. Siapa tahu ada hikmah yang terselip atau tercecer di sana. Dengan demikian, kita bisa memungut ilmu (hikmah), dengan saringan yang baik agar hal-hal negatif tak ikut terbawa.

Perumpamaannya seperti mengambil emas murni dari kubangan lumpur Lapindo. Namanya emas, tetap saja berharga, meski berada di antara kotoran. Tinggal bagaimana kita bisa mengambil emas tanpa terkotori lumpur.

Coba perhatikan ringkasan hadist Bukhori tentang pengalaman sahabat Abu Huroiroh RA yang berhasil menangkap setan.

Suatu malam, Abu Huroiroh sukses menangkap basah seorang lelaki tua yang mencuri kurma zakat. Karena minta diampuni, akhirnya Abu Huroiroh melepaskannya.

Sebelum pergi, lelaki misterius itu menyarankan Abu Huroiroh untuk membaca ayat kursi agar dia tak mengalami gangguan mistis.

Keesokan harinya, Abu Huroiroh melaporkan kejadian itu kepada Nabi Muhammad SAW. Mendengar itu, Baginda Nabi menjawab, "Lelaki tua itu adalah setan yang menyamar. Dia pendusta, tapi ucapannya tentang keutamaan ayat kursyi benar adanya."

Pertanyaannya? Kalau Nabi Muhammad SAW saja masih bisa mengambil ilmu dari setan, mengapa kita tidak bisa mengambil ilmu dari makhluk yang lebih baik daripada setan?

Padahal, Beliau kan panutan yang harus kita teladani? Tidak mungkin seorang Nabi Muhammad SAW melakukan kesalahan prinsip. Wong Beliau menyandang predikat maksum (terjaga dari dosa).

"Tapi Cak Gem, Nabi Muhammad SAW kan utusan Allah. Berguru pada malaikat Jibril. Jadi pasti pinter sehingga bisa menyaring mana yang benar dan mana yang salah, termasuk ucapan setan tadi."

Yup, Anda benar sekali. Beliau memang maksum alias terjaga dari kesesatan. Makanya, jalan terbaik untuk bisa selamat adalah dengan mengikuti Baginda Muhammad SAW.

Tak diragukan lagi, bagi kita umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah rujukan sempurna dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.

"Hanya satu orang di dunia ini yang 100% bisa kita jadikan rujukan. Beliau adalah Baginda Nabi Muhammad SAW. Selain beliau, adalah manusia biasa yang bisa salah dan lupa," papar Syeh Abdullah Asyiri, salah satu ulama besar Haramain ketika mengajar di Jakarta.

Anda ingin tahu bagaimana metode Nabi Muhammad SAW berpikir, bertutur, dan bersikap, termasuk yang berkaitan dengan keilmuan?

Sayangnya, tidak ada jalan lain untuk bisa mengikuti jejak Nabi kecuali dengan membuka sejarah yang terangkum dalam hadist dan kitab-kitab yang menguatkan hal itu.

So, mari berguru dan mengaji supaya bisa meneladani Nabi Muhammad SAW dalam segala hal, termasuk kaidah mencari, mendalami, dan memahami ilmu.

Oh ya, satu lagi mumpung ingat. Ada sikap yang wajib dimiliki para pencari ilmu dalam mengarungi samudera pengetahuan.

Sikap itu adalah bisa rumangsa, bukan rumangsa bisa (bisa merasa, bukan merasa bisa).

Dengan merasa diri masih kurang ilmu, insyaAllah kita akan selalu punya wadah untuk menimba ilmu dari manapun sumbernya.

Saya ada bocoran sedikit buat Anda. Murid yang baik memiliki setidaknya empat karakter.

1. Lebih senang mendengar daripada bicara.

2. Lebih tenang ketika kebanyakan orang emosi.

3. Lebih sering menggunakan kata "kita" daripada "aku".

4. Menyadari bahwa setiap orang/pihak pasti punya kelebihan dan kekurangan.

"Sebaik apapun orang pasti ada kekurangannya. Jadi, hati-hati dengan kelemahannya. Sejelek-jelek orang pasti ada kebaikannya. Ambilah kebaikan itu," nasihat Ibu saya sebelum beliau meninggal dunia.

0 Response to "Setan Saja Bisa Dijadikan Guru"

Post a Comment