Menulis

Menulis

Memahami Dimensi Sang Pencipta



Seperti kebanyakan manusia, ada satu pertanyaan suci yang terbersit di dalam sanubari saya sejak dulu.

"Apakah Allah benar-benar ada?"

Saya yakin, Anda (yang bukan atheis) pasti akan menjawab "ada". Saya 100% setuju dengan Anda. Kita bisa merasakan keberadaan Allah, salah satunya dari ciptaanNya.

Berikut kisah tentang raja dan pemuda beriman terkait keberadaan dan identitas Sang Pencipta.

(maaf jika agak jorok. sengaja saya mengambil gambaran ini agar lebih gampang diingat dan dipahami).

Suatu hari, ada raja yang sama sekali tak percaya bahwa Allah itu ada. Menurutnya, Allah tak bisa dilihat, tak bisa didengar, dan tak bisa diraba.

"Bagaimana mungkin aku bisa percaya jika keberadaannya sulit dibuktikan? Seeing is believing," tegas raja.

Mendengar itu, seorang pemuda beriman memberanikan diri menasehati sang raja. Dia pun minta izin bertemu raja untuk membuktikan keberadaan Allah.

Singkat cerita, si pemuda bertatap muka dengan sang raja. Dia pun mengatakan dengan sopan bahwa Allah benar-benar ada, meski tak bisa dijamah oleh manusia.

Sang raja yang sejak awal tak percaya Allah, langsung menantang pemuda yang berdiri gagah di depannya.

"Hai pemuda. Kalau memang Allah itu ada, buktikan sekarang juga. Kalau kamu berhasil membawa Dia ke sini, saya langsung beriman. Tapi, kalau kamu gagal, nyawamu taruhannya," gertak sang raja.

Dengan tersenyum, pemuda tadi menjawab sopan.

"Sekarang saya belum bisa membawa Allah ke istana. Beri saya waktu sampai besok pagi. Saya akan membuktikan bahwa Allah benar-benar ada," jawab sang pemuda.

"Baiklah. Permohonanmu ku kabulkan. Besok pagi, kamu harus membawa Allah ke sini. Kalau tidak, kepalamu dipenggal," timpal sang raja.

Malam harinya, pemuda gagah itu menyempatkan diri bangun dan menyelinap ke singgasana. Beberapa menit kemudian dia buang air besar tepat di atas kursi kebesaran sang raja. Setelah itu, dia pun menutupi kotorannya dengan sehelai kain lalu kembali ke kamar tamu.

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, sang pemuda bergegas ke istana. Dia langsung minta izin pengawal untuk menunggu raja tepat di depan singgasana. Permintaan itu pun dikabulkan.

Dengan sabar, sang pemuda duduk bersila menunggu kedatangan raja. Tak berselang lama, raja pun hadir dan langsung menuju ke kursi kebesarannya.

Betapa terkejutnya dia ketika mendapati ada sesuatu di atas kursinya. Dia pun membuka kain penutup dan menemukan segumpal kotoran manusia yang masih hangat.

"Kurang ajar. Siapa yang berani berak di kursiku. Pengawal, segera cari orangnya dan langsung bunuh dia di tengah alun-alun. Tidak ada kata maaf untuknya," teriak sang raja dengan nada marah.

Sebelum pengawal mulai bergerak, si pemuda gagah tadi mendekati sang raja. Dengan tutur bahasa yang lembut dia usul agar tak perlu mencari orang yang berak di singgasana.

"Maaf raja. Saya kira raja tak perlu membesar-besarkan masalah ini. Siapa tahu kotoran itu muncul dengan sendirinya. Bukan karena ada yang berak," tutur pemuda.

Raja yang sejak tadi sudah sangat emosi semakin marah dan menghardik si pemuda.

"Hai pemuda. Di mana otakmu? Mana mungkin kotoran ini muncul sendiri. Sudah pasti ini ada yang berak sembarangan. Saya yakin pelakunya buang air di sini tadi malam," tegas sang raja.

Dengan langkah tenang, si pemuda mendekati sang raja. Dengan kata-kata lembut dia pun berbisik di dekat telinga kiri raja.

"Yang mulia, jika engkau yakin kotoran yang hina ini saja ada pemiliknya, lalu mana mungkin matahari yang bersinar terang, rembulan yang indah, dan bintang-bintang yang berkilauan ada dengan sendirinya."

"Padahal, kalau dilihat dari bentuk dan letaknya, tidak mungkin matahari, bulan, dan bintang dibikin oleh manusia. Pasti ada yang membuatnya lalu meletakkannya di langit."

"Yang mulia, jika kotoran yang bau dan menjijikkan saja engkau yakini tak mungkin muncul dengan sendirinya, lalu mengapa engkau tidak yakin dengan adanya Sang Pencipta jagat raya," terang sang pemuda.

Mendengar bisikan si pemuda, sang raja terdiam seribu bahasa. Napasnya naik turun menahan gejolak yang ada di hati dan pikirannya.

Sesaat kemudian dia pun berkata, "Wahai pemuda. Aku mulai bisa menerima penjelasanmu. Masuk akal kalau ada yang membuat matahari, bulan, dan bintang. Semua itu tak mungkin ada dengan sendirinya, seperti kotoran itu. Tapi, mengapa Dia tak mau menampakkan diri dan berkomunikasi langsung dengan manusia?"

Dengan sopan sang pemuda menjawab, "Dimensi kita berbeda dengan dimensiNya. Dia adalah Sang Pencipta, sedangkan kita, binatang, tumbuhan, bulan, bintang, matahari, dan angkasa luar adalah ciptaanNya. EnergiNya teramat dahsyat hingga tak mampu dicapai oleh makhluk apapun."

Sejenak sang raja terdiam mendengarkan penjelasan pemuda di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh memikirkan keberadaan Sang Pencipta.

Belum sempat berkata-kata, pemuda tadi kembali mendekati sang raja. Sesaat kemudian dia meniup kaki sang penguasa yang berdiri tepat di depannya.

"Apakah yang mulia merasakan tiupan saya?" tanya pemuda.

"Iya. Kenapa kamu meniup kakiku," jawab sang raja.

"Angin adalah makhluk Allah. Ia ada dan bisa dirasakan keberadaannya. Tapi kita tak bisa melihatnya. Kita juga tak bisa memegangnya. Meski tak terlihat, angin benar-benar ada dan kita bisa merasakannya," jelas sang pemuda.

"Begitu juga dengan bau. Kita bisa menciumnya, seperti bau kotoran itu. Tapi kita tak bisa melihat bau. Kita juga tak kuasa memegangnya," imbuh pemuda.

"Yang mulia, Allah benar-benar ada. Meski kita tak bisa melihatNya, mendengarNya, ataupun merabaNya. DimensiNya sangat jauh berbeda dengan dimensi semua ciptaanNya. Namun, kita bisa jelas merasakan keberadaanNya dari semua makhluk yang ada di jagat raya ini," jelas sang pemuda.

*****

Saya kira sebagian Anda pernah mendengar atau membaca kisah di atas. Atau setidaknya yang mirip-mirip dengan itu.

Intinya, Allah benar-benar ada. Meski dimensiNya berbeda, namun Sang Pencipta bisa dirasakan keberadaanNya dari makhluk-makhlukNya.

Logika manusia normal pasti setuju "tak ada satupun partikel di jagat raya ini yang tiba-tiba muncul tanpa ada yang mencipta, meletakkan, atau membuangnya (seperti kisah kotoran manusia dan raja).

Pertanyaannya. Apakah kita benar-benar yakin bahwa Allah ada?

Yakin di sini bukan sekadar percaya bahwa Allah ada, melainkan merespons keberadaanNya dengan tepat.

Saya ambil contoh keyakinan kita terhadap bisa ular kobra. Saya dan Anda pasti lari tunggang langgang ketika tiba-tiba ada ular kobra mendekati kita. Bahkan saking takutnya, tak sedikit yang menjerit histeris jika melihat ular berbisa.

Kenapa takut? Kenapa lari? Kenapa histeris? Karena kita yakin bisa kobra sangat berbahaya. Jika tergigit, kita bisa langsung sekarat bahkan meninggal dunia.

Inilah yang saya maksud dengan benar-benar meyakini. Saking yakinnya dengan bisa kobra yang mematikan, kita secara fisik dan psikis, meresponsnya dengan ketakutan, menjerit, dan lari tunggang langgang.

Nah, sekarang kita coba terapkan pola pikir ini dengan keyakinan terhadap sifat Allah. Di dalam Alquran, banyak sekali kalimat yang berbunyi:

"innallaha ala kulli syain qodir"

(sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu)

Coba renungkan sejenak ayat ini. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ya, Dia memiliki kemampuan dan kekuasaan yang tak terbatas untuk melakukan apa saja.

Allah bisa menimpakan musibah pada siapapun.

Allah bisa memiskinkan siapa saja.

Allah bisa mengkayakan siapa saja.

Allah bisa mematikan siapa saja.

Allah bisa menolong siapa saja yang dikehendaki.

Allah bisa melihat siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Allah bisa mendengar siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Allah bisa mengabulkan doa-doa hambaNya yang baik dan mau ikhtiyar.

Allah bisa menyembuhkan siapa saja.

Allah bisa mengampuni hamba-hambanNya yang mau bertaubat.

Allah bisa memberi kemudahan dan jalan keluar bagi mereka yang ditimpa kesulitan.

Allah bisa menyiksa orang-orang yang menentangNya.

Allah bisa memasukkan hamba-hamba  yang taat ke dalam surga.

Dan kebisaan-kebisaan (baca: kekuasaan) lain yang tak terbatas.

Pertanyaannya. Apakah kita benar-benar yakin dengan semua sifat-sifat Allah itu? Apakah pikiran, jiwa, dan raga kita merespons dengan tepat sifat-sifat Allah tersebut?

Jika belum, sungguh umur yang diberikan Allah kepada kita seharusnya dihabiskan dan difokuskan untuk mencapainya.

Mengapa? Karena cepat atau lambat kita akan bertemu denganNya. Dan Dia akan meminta pertanggung jawaban atas waktu, kesehatan, rejeki, kesempatan, dan apa saja yang telah Dia berikan kepada kita.

Sebaliknya, jika ternyata, Alhamdulillah, kita sudah 100% meyakiniNya, ini berarti, insyaAllah, kita masuk dalam jajaran hamba-hamba yang "laa khoufun alaihim walaa hum yahzanuun" (tak pernah merasa khawatir dan tak pernah merasa susah).

Semoga Allah berkenan menganugerahi kita keimanan yang baik, kuat, dan tak lekang oleh waktu. Amiin.

0 Response to "Memahami Dimensi Sang Pencipta"

Post a Comment