Menulis

Menulis

Sepedaku Sayang, Sepedaku Malang



Ini cerita gak bermutu. Bahkan, bisa dikatakan alay. Jadi, mending gak usah dibaca. Kalau tetep mbok baca, jangan salahkan aku kalau Anda kecewa. He he he :)

Ini kisahku jaman SMA dan kuliah. Lahir dari keluarga sederhana, aku kesulitan untuk punya sepeda motor sendiri. Walhasil, saya harus naik sepeda onthel sejak SMP sampai kuliah semester 4.

By the way busway, SD naik Alphard kan Cak Gem?

Hus, ngawur ae. Jaman dulu belum ada Alphard dul. Yang ada Suzuki carry yang bodynya kecil tapi jalannya nyruntul.

Seperti kebanyakan anak jaman dulu, aku SD jalan kaki. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, jadinya fine-fine aja ke sekolah naik mersikil (mercy ala sikil/kaki).

Waktu duduk di bangku SMP, aku mulai naik sepeda ke sekolah. Karena jarak SMP dari rumah cukup jauh, jadi berat rasanya jika harus jalan kaki.

Tidak masalah bagiku mengayuh pedal sampai ke sekolah. Apalagi, ketika itu banyak teman yang juga naik sepeda.

Namun, keadaan sedikit berbeda kala aku duduk di bangku SMA. Saat itu, banyak teman-temanku yang naik motor.

Ada yang nunggang Honda Grand, Suzuki Crystal, Yamaha Fiz-1, Suzuki DK 100, GL Pro, GL Max, Yamaha Alpha bahkan ada yang jenis sport, yaitu Suzuki RGR 150 R. Motor yang terakhir disebut bikin cewek terkiwir-kiwir.

Karena usiaku mulai beranjak dewasa, terkadang terselip rasa malu ketika harus ngonthel ke sekolah. Meski demikian, hal itu tak menyurutkanku menimba ilmu dari para guru.

Ada kejadian lucu ketika aku duduk di bangku kelas satu SMA. Suatu hari, pas pelajaran Fisika, Pak Guru meminta semua murid keluar kelas.

Beliau mengajak kami melakukan eksperimen kecepatan dan percepatan. Salah satu alat eksperimennya adalah sepeda onthel.

Bisa ditebak, begitu Pak Guru minta didatangkan sepeda, teman-teman langsung berinisiatif mengambil sepedaku dari parkiran.

"Sepedae Gembel ae. Asli bermutu," kata beberapa teman cowok sambil berlarian ke parkiran.

Dalam hitungan detik, sepeda saya sudah berdiri kokoh di depan Pak Guru dan puluhan murid.

Eng, ing, eng, sepeda jengki warna hitam itu pun siap digenjot untuk eksperimen kecepatan dan percepatan.

Asal tahu saja, jaman segitu, jarang ada anak yang mau pakai sepeda jengki. Kebanyakan mereka memilih sepeda gunung atau BMX yang lebih keren.

Sepeda jengki identik dengan sepeda buruh pabrik yang banyak tersebar di sekitar sekolah kami. Sepeda klasik itu juga lazim dipakai bakul krupuk, bakul tahu, dan bakul jamu. He he he, pokoknya kaum pinggiranlah.

Namun, kata bapak saya, sepeda jengki jauh lebih kuat dan bertenaga dibanding sepeda gunung dan BMX. Jadinya, ya beliau membeli sepeda itu untukku (terima kasih pak, jzk untuk Belalang Tempurnya).

Kembali ke sekolah. Usai eksperimen Fisika, teman-teman langsung bermain-main dengan sepedaku. Anak cowok duduk di depan, sementara yang cewek membonceng di belakang. Mereka menirukan adegan orang pacaran di film Akhir Pekan TVRI.

"Genjot terus. Genjot terussss," kata teman-teman sembari tertawa lepas.

Aku yang melihat kejadian itu, hanya senyum-senyum saja. Sebenarnya malu juga karena sepedaku tidak sekeren teman-teman. Namun, karena mentalku sudah kebal, jadi ya tidak masalah.

Jujur, jauh di lubuk hati yang terdalam, aku ingin punya sepeda motor. Bahkan, saking pengennya, aku beberapa kali sempat bermimpi dibelikan sepeda motor oleh bapak.

Tapi, mimpi tinggalah mimpi. Tetap saja aku naik sepeda jengki ke manapun aku pergi. (kring, kring, kring).

Lantaran tak punya sepeda motor, aku sungkan jika harus mendekati teman-teman cewek. Aku selalu berpikir mereka pasti menolak cintaku.

"Mana mau mereka jadi pacarku. Mereka pasti malu diboncengin sepeda jengki. Emang kayak mbah-mbah jaman Belanda pacaran naik sepeda?" demikian kata hatiku.

Kalau pun dipaksakan dan ada cewek yang mau, aku sendiri yang kebingungan. Masak apel naik sepeda jengki? Wes, gak mbejaji blas. He he he :)

Sampai lulus SMA, sepeda jengki hitamku tetap setia menemaniku ke manapun aku pergi. Dari mulai ke pasar, loper koran, sampai silaturahim ke rumah saudara-saudara.

Namun, dengan alasan ganti penampilan, saat masuk ke perguruan tinggi, aku melepas sepeda jengki itu. Aku menukarnya dengan sepeda balap milik sahabat SD, Kusaini (baca kisahnya di wall berjudul Saat Aku Jadi Pasukan Kuning).

Aku merasa sepeda balap lebih bergengsi daripada sepeda jengki. Dengan sepeda balap, aku bisa berkilah kalau sengaja ngonthel ke kampus karena ingin sehat (he he he modus).

"Maaf ya sepeda jengki. Terpaksa aku menukarmu dengan sepeda balap yang lebih keren. Bye bye sepeda jengki. Jaga dirimu baik-baik ya."

Aku memakai sepeda balap barteran tersebut hingga awal semester empat. Setelah itu, aku lebih sering membonceng motor teman yang kebetulan sejalan ke kampus.

Salah satu teman yang paling setia memberi tumpangan adalah Andreas Kresna. Dia sehari-hari naik Yamaha Robot warna merah. Yang unik, Andreas sendiri tidak pede dengan sepeda motor produksi 1970-an itu.

Pernah suatu hari usai kuliah, Andreas enggan mengambil sepeda motor butut itu dari parkiran. Alasannya, pas di depan motornya, duduk beberapa mahasiswi cantik.

"Kamu saja Mam yang ambil motornya. Nih, kuncinya. Aku tunggu di depan gerbang kampus ya," kata Andreas suatu hari.

Mendapat perintah juragan, aku langsung mengiyakannya. Aku santai saja mengambil Yamaha Robot meski disaksikan beberapa mahasiswi cantik.

Aku bersyukur karena tidak diberi rasa rendah diri meski bertahun-tahun naik sepeda jengki. Jujur, rasa malu memang terkadang ada. Tapi tidak sampai membuat dunia kiamat.

Berbeda dengan sebagian anak jaman sekarang. Mereka tidak mau sekolah atau kuliah kalau tidak dibelikan motor bagus. Bahkan, ada yang berani menyakiti orangtuanya hanya karena tidak dibelikan Ninja 250 CC.

Weleh, weleh, susah juga ya kalau punya anak model kayak gitu. Gayanya selangit, padahal gak punya duit. Ujung-ujungnya, orangtua yang harus kredit :)

Menurutku, tampil apa adanya dan menjadi diri sendiri adalah yang terbaik. Tidak perlu kamuflase, apalagi sampai memaksakan diri mengikuti gaya hidup orang lain. Capek bro, nggak akan ada habisnya. Betul?

Salam sepeda onthel. Salam sehat dan sejahtera :)

NB:
Bener kan ceritanya alay? He he he. Salah sendiri dibaca sampai tamat, tadi kan udah ku larang. Karena terlanjur baca, ya udin, Anda kasih "like" sama komen dikit-dikit (he he he, bercanda bro)

0 Response to "Sepedaku Sayang, Sepedaku Malang"

Post a Comment