Menulis

Menulis

Takdirku Sebagai Jurnalis



Mimpi adalah kunci. Untuk kita menaklukkan dunia. (jreng, jreng, jreng....)

Sepenggal lirik OST film Laskar Pelangi karya Nidji ini benar-benar dahsyat. Banyak orang yang telah membuktikkan kekuatan mimpi. Saya, alhamdulillah, adalah salah satunya.

Sebagai anak dari keluarga sederhana, saat masih SD, saya bermimpi bisa menginjakkan kaki di negeri orang.

Bagi sebagian masyarakat, mungkin itu bukanlah mimpi. Namun, bagi saya, anak seorang sopir, itu benar-benar mimpi.

Saya sering iri melihat turis asing singgah di Indonesia. Mereka bisa jalan-jalan menikmati keindahan Nusantara. Mengapa saya tidak bisa menginjakkan kaki di negeri mereka?

Kalau mereka bisa ke sini, InsyaAllah saya bisa ke sana.

Angan-angan saya ini lantas saya ceritakan kepada Ibunda tercinta. Saya yakin dengan doa Ibu, mimpi itu akan tercapai.

"Bu, saya ingin bisa ke luar negeri. Doakan saya ya Bu. Saya ingin melihat negeri orang lain," kata saya suatu hari.

Mendengar itu, Ibupun menganggukkan kepalanya. Beliau berkata, "Iya Mam, aku doakan kamu bisa ke luar negeri. Semoga suatu saat bisa terwujud cita-citamu."

Tidak hanya doa, untuk menggapai mimpi itu, saya berusaha keras belajar bahasa Inggris. Saya berkeyakinan, jika mampu berbahasa Inggris, saya bisa berkomunikasi dengan orang asing dan akhirnya pergi ke luar negeri.

FYI, saat itu, bahasa Inggris belum terlalu memasyarakat seperti sekarang. Orang masih memandang sebelah mata dengan bahasa universal ini.

Kebanyakan orangtua, terutama dari kalangan menengah ke bawah, lebih senang anaknya pandai matematika ketimbang lancar cas cis cus dalam bahasa Inggris.

***

Demi menggapai mimpi, sejak SD saya membiasakan diri membaca buku-buku berbahasa Inggris. Padahal, saat itu, saya sama sekali belum paham isinya.

Buku favorit saya waktu itu adalah yang ada gambar-gambarnya. Gambar benda-benda, hewan, bangunan, dll.

Saya masih ingat salah satu buku bahasa Inggris yang dibelikan Bapak saya waktu SD kelas lima. Warnanya merah. Saya lupa judulnya. Kalau tidak salah ABC. Buku itu banyak gambar sehingga saya tidak bosan melihat dan menghapalkan isinya.

Tidak ada orang yang mendampingi saya secara khusus untuk menguasai bahasa Inggris. Ibu dan Bapak saya hanya lulusan SMP. Beliau berdua tidak paham bahasa Inggris. Jangankan grammar dan pronounciation, nama-nama benda saja nyaris tidak ada yang hapal.

Saya sempat down ketika duduk di bangku SMP kelas dua. Semangat belajar bahasa Inggris saya nyaris luntur. Penyebabnya, nilai bahasa Inggris saya jelek sekali. Saya mulai kesulitan mempelajari bahasa favorit saya tersebut.

Di mata saya, guru bahasa Inggris ketika itu sangat mengerikan. Jadinya saya sukar mencerna pelajaran darinya. Ibarat kata, pelajaran belum dimulai saya sudah ngeper duluan ;)

Sampai lulus SMP, nilai bahasa Inggris saya tidak bagus-bagus amat. Saya sebenarnya ingin mengambil les atau kursus. Namun, karena terbentur biaya, jadinya niat itu harus kandas di tengah jalan.

Meski kurang cemerlang di SMP, niat saya untuk bisa menguasai bahasa Inggris masih berkobar. Mimpi untuk bisa keluar negeri terus menyala.

Saya bersyukur, ketika SMA, saya bisa bertemu dengan teman-teman yang mengambil les atau kursus di lembaga pendidikan bahasa asing.

Salah satu dari mereka adalah Benna Atilla. Dari dia saya pinjam buku-buku bahasa Inggris di luar pelajaran sekolah. Saya pelajari sendiri buku-buku itu. Kalau ada yang tidak paham, baru saya bertanya kepada Benna atau teman-teman yang lain.

Hal yang sama juga terjadi di bangku kuliah. Di sini, saya bertemu dengan sahabat yang baik hati bernama Bayu Indra.

Dia punya banyak buku dan koleksi kaset bahasa Inggris. Maklum, Bayu adalah anak seorang pilot Merpati. Dia tidak kesulitan untuk membeli produk mahal seperti itu.

***

Satu semester sebelum lulus kuliah, salah satu teman saya, Mas Firdaus Ratna Putra, memberi tahu kalau di kantornya ada lowongan jadi jurnalis. Dia ketika itu bekerja di the Indonesian Daily News (IDN) bagian sirkulasi.

Tanpa pikir panjang, saya langsung menerima tawaran itu. Bermodal nekat, saya titip surat lamaran kepada Mas Firdaus untuk diberikan kepada pemimpin redaksi IDN yang dijabat Pak Ribut Wahyudi.

Singkat cerita, saya diminta menjalani tes menulis dan menerjemahkan artikel dalam bahasa Inggris. Alhamdulillah saya lulus dengan nilai pas-pasan :)

"Gaji di sini kecil lho Mam. Cuma 300 ribu per bulan. Kamu mau?" kata Pak Ribut.

"Mau Pak. Saya bisa diterima saja sudah senang sekali. Saya ingin belajar Pak," jawab saya mantap.

Saya mulai masuk IDN pada Januari 2000. Ketika itu saya juga tengah bersiap-siap menyusun skripsi. Karena tidak ada lagi mata kuliah wajib, saya bisa membagi waktu antara kuliah dan kerja.

"Kamu ini mahasiswa teknik kok jadi wartawan. Tidak salah kamu milih pekerjaan?"

Pertanyaan ini sering sekali saya dengar. Memang, lulusan teknik seharusnya kerja di bidang keteknikan. Sayang dong sudah capek-capek belajar ilmu teknik, tapi tidak digunakan :(

Meski banyak dikritik, tapi saya tidak mengubah haluan. Bagi saya, jadi jurnalis kalau bisa hanya sebentar saja. Kalau sudah lulus nanti cari kerja lain di bidang teknik. Yang penting saya bisa memperdalam bahasa Inggris dan suatu saat menginjakkan kaki di luar negeri.

Tidak mudah bagi saya untuk memasuki dunia jurnalistik. Buktinya, belum genap tiga bulan, saya sudah masuk dalam daftar PHK. Alasannya, bahasa Inggris saya tidak sesuai standar. Dengan kata lain, saya tidak bakat jadi jurnalis IDN.

"Mam, siap-siap. Kamu mau dipecat Pak Ribut," kata Wisnoe, salah satu jurnalis IDN lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga.

Sedih juga saya mendapat informasi seperti itu. Dengan berat hati dan wajah memelas saya menemui Pak Ribut. Saya ngomong baik-baik agar saya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan.

Sebagai orang yang tidak pernah ikut kursus bahasa Inggris dan berstatus mahasiswa teknik, saya mengaku 100% kesulitan untuk menjadi jurnalis.

Saya butuh bimbingan khusus agar bisa menulis dalam bahasa Inggris yang baik dan benar. Ibaratnya, nulis bahasa Indonesia saja masih grotal-gratul, apalagi nulis dalam bahasa Inggris.

Mungkin karena kasihan, akhirnya Pak Ribut mengurungkan niat untuk mendepak saya dari IDN. Saya sangat bersyukur karena dia ternyata juga mau menjadi mentor saya.

Sejak itu, saya diminta untuk membaca buku-buku jurnalistik dan mencatat tips-tips menulis dari dia.

Mirip dengan saya, Pak Ribut orangnya senang bergurau. Kehidupannya yang keras sejak kecil membuat dia harus biasa meregangkan otak dengan bercanda ria.

Saya masih ingat ketika dia mengedit sekaligus mengajari saya menulis dalam bahasa Inggris. Dia sering berujar, "Begini lho Mam cara menulis yang benar. Perhatikan ya. Dicatet baik-baik. Diingat-ingat. Oke monkey."

Glodak, saya dipanggil monkey. Monyet dong saya. Wah, Pak Ribut benar-benar tega mengatai saya begitu. Emang saya ini keturunan kera apa? Wis, wis gak tepak Pak Ribut ini.

Meski dibegitukan, saya tidak pernah sakit hati. Saya langsung menjawab, "Oke doggy," setiap kali Pak Ribut berucap, "Oke monkey."

***

Awal-awal bergabung dengan IDN, saya ditugasi menerjemahkan artikel bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Sekitar sebulan kemudian baru saya diperintahkan untuk liputan.

Saya waktu itu mendapat jatah ngepos di DPRD Kota Surabaya. Saya juga sesekali diminta meliput berita bisnis, pendidikan, dan sosial. Dari sinilah saya biasa meliput event-event menarik, salah satunya berhubungan dengan kebudayaan Jepang.

Suatu siang, ketika saya sedang liputan di Hotel Sheraton, staf Konsulat Jenderal Jepang menghubungi saya. Dia mengatakan kalau ada kesempatan untuk terbang ke Negeri Sakura.

"Mas Imam, ini ada peluang ke Jepang. Kalau Mas Imam mau silakan bikin tulisan tentang motivasi Mas Imam pergi ke Jepang. Nanti diemailkan ke saya," kata beliau.

Bagai disambar gledek-an, gemetar hati ini mendengar informasi itu. Benar-benar di luar dugaan. Sebagai jurnalis kasta paling rendah di IDN, saya sangat tersanjung mendapat tawaran tersebut.

Tanpa pikir panjang, langsung saja saya mengiyakannya. Saya berjanji dalam beberapa hari ke depan saya sudah menyerahkan karya tulis mengapa saya ingin pergi ke Jepang.

Saya tulis sebuah artikel tentang kondisi Kota Surabaya yang macet dan banyak sampah. Saya katakan dalam tulisan itu kalau saya ingin mengetahui teknologi pengolahan sampah dan antikemacaten di Jepang.

Sebagai negara maju, saya yakin banyak hal yang bisa dipelajari dari Jepang untuk kemajuan Indonesia, khususnya Kota Pahlawan.

Setelah saya emailkan naskah tersebut, saya tidak lupa minta doa dari orangtua, terutama Ibu. Saya katakan kepada Ibu bahwa mimpi saya ke luar negeri tinggal satu langkah lagi.

"Bu, saya barusan mengirim artikel ke Konjen Jepang. Kalau terpilih saya bisa ke Jepang Bu. Doakan diterima ya Bu," kata saya.

Alhamdulillah, dari banyak artikel yang masuk, karya tulis saya yang terpilih. Saya akhirnya dinyatakan lulus dan berhak ke Negeri Matahari Terbit. Saya berangkat dengan seorang wartawan senior dari Medan.

Kami berdua mewakili Indonesia di ajang Forum Jurnalisme Asia. Bersama jurnalis-jurnalis lain dari Benua Kuning, kami selama dua minggu, diajak jalan-jalan untuk mengenal Jepang lebih dalam.

***

Setelah melengkapi semua persaratan, waktu untuk terbang ke Tokyo pun tiba. Saya ke bandara Juanda diantar oleh ayah dan ibu. Karena tidak punya mobil, kami berniat naik taksi.

Namun, salah satu kerabat, yakni Pakde Ripin, kakaknya Ibu, melarang kami naik taksi. Beliau ingin ikut serta mengantar saya ke Juanda.

Yang menarik, mobil Pakde Ripin saat itu adalah colt lawas yang "sangat memprihatinkan". Beliau sendiri sering mengeluh kalau mobilnya itu mogokan.

"Wis gak po po. Tak terno ae. InsyaAllah slamet. (Sudah tidak apa-apa. Saya antar saja. InsyaAllah selamat)," kata Pakde Ripin mantap.

Pakde Ripin adalah salah satu kerabat yang ikut mendukung saya untuk kuliah. Awalnya saya enggan melanjutkan studi ke jenjang S1. Saya sebenarnya lebih memilih bekerja ketimbang kuliah. Biarlah saya yang cari uang dan adik-adik yang kuliah. Namun, Pakde Ripin yang memaksa saya untuk masuk kampus.

Berkat beliau, saya mendapatkan banyak potongan biaya kuliah. Sebagai anggota TNI, beliau dapat memintakan keringanan SPP di UPN yang ketika itu masih memberlakukan status universitas negeri kedinasan.

Dengan diantar mobil colt Suzuki lawas dan iringan hujan lebat, kami menapaki jalanan menuju Bandara Juanda.

Saya lihat mata ibu berkaca-kaca ketika saya mulai turun dari mobil menuju ruang tunggu bandara. Beliau memeluk dan mencium pipi saya sebelum kemudian tersenyum dan melambaikan tangan.

Alhamdulillahirobbil alamin. Terima kasih ya Allah atas nikmat yang kau berikan.

Terima kasih Ibu, Bapak dan adik-adik atas dukungan dan doa-doa kalian.

Terima kasih sahabat-sahabat IDN yang telah menempa saya menjadi jurnalis.

Terima kasih teman-teman SMA dan kampus yang telah meminjami saya buku-buku bahasa Inggris.

Terima kasih Pakde Ripin atas dorongan semangat dan mobil colt tuanya.

Terima kasih Mas Kentol atas pinjaman tas gunung untuk wadah pakaian dan peralatan.

Terima kasih Lik Huda atas pinjaman setelan jasnya.

Terima kasih bonek ashabul masjid Semampir atas supportnya.

Dan terima kasih kepada semuanya yang telah membantu saya mewujudkan mimpi menginjakkan kaki di luar negeri.

Seperti kata Nidji:

Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya

Teruslah bermimpi teman-temanku. Allah akan selalu siap mengabulkannya kapan saja. Tugas kita hanya satu:

Meyakinkan Dia bahwa kita memang pantas menerimanya ;)

0 Response to "Takdirku Sebagai Jurnalis "

Post a Comment