Menulis

Menulis

Tragedi Nyaris Nabrak Bajaj



Buat saya yang pernah lama tinggal di Surabaya, Jogjakarta, dan sekarang Jakarta, ada satu kesimpulan terkait lalu lintas.

Jakarta, menurut saya berada di posisi teratas untuk tingkat kemacetan dan keruwetan. Untuk skala 1-10, Jakarta di level 9,997.

Siapa saja yang berkeliaran di jalan raya harus siap menanggung beragam risiko. Mulai dari kena ranjau paku, berantem dengan pegendara lain, hingga kehilangan nyawa (nau'dzubillahi min dzalik).

Ada satu kejadian unik ketika suatu hari saya berkendara dengan sepeda motor. Saat sedang melaju dengan kecepatan penuh, mendadak seekor bajaj putar balik.

Ciiiiiiiitttt, wuihhhh, nyaris saja terjadi tabrakan. (Alhamdulilllah slamet).

Seolah tak terjadi apa-apa, pak sopir bajaj langsung tancap gas meninggalkan lokasi. Yup, seperti hari-hari yang lain, tanpa maaf, tanpa senyum, dan tanpa ekspresi. Coool :)

Darah saya langsung muntap hingga nyaris tak terbendung. Saya 100% merasa berhak marah, naik pitam, geram, emosi, yang berujung pada mengumpat, menghardik, melaknat, atau bahkan misuhi si tukang bajaj. Apalagi pas teringat ucapan seorang teman bahwa bajaj adalah "the vehicle from hell" atau "kendaraan dari neraka."

Bagi yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, saya yakin sudah pasti tahu bagaimana rasanya bersinggungan dengan bajaj. Terlebih kendaraan made-in India yang warnanya merah, bukan biru.

Sudah suaranya berisik kayak petasan 24 jam, asapnya tebal, bodinya semok, kecepatannya pun nangggung gak karuan. Yang paling miris, hanya sopir dan Allah saja yang tahu ke mana bajaj melangkah.

Dengan segudang "prestasi" ini, bisa dipastikan, nyaris siapa saja (bahkan kolega tukang bajaj sendiri) mengharamkan dirinya berlama-lama di belakang bajaj merah.

"Tersiksa bingitz brooooooooo."

Kembali ke peristiwa hampir tabrakan tadi. Beberepa detik pasca insiden itu, dada saya langsung sesak. Bukan karena kena penyakit paru-paru, tapi lantaran amarah yang bertumpuk sampai ke ubun-ubun.

Mumpung masih ada kesempatan, lidah saya otomatis keluar dan siap berteriak kencang, "Dasar tukang bajaj guoblooooooook."

Alhamdulillah, belum sempat umpatan itu terucap, mendadak di pikiran saya terlintas suara fiktif pak tukang bajaj.

"Mas, kalau aku pinter, gak bakalan aku jadi tukang bajaj. Aku juga ingin seperti yang lain, kerja di kantoran dan punya karir cemerlang. Karena aku goblok, ya beginilah nasib saya. Sampeyan mau tuker nasib sama saya?" demikian suara jadi-jadian yang terngiang di telinga saya.

Dalam hati saya langsung berujar, "Astaghfirullahaladzim. Iya ya, bener juga kata pak tukang bajaj. Kasihan dia karena gak pinter jadinya terpaksa menjalani profesi sebagai tukang bajaj. Berat tapi hasilnya gak seberapa."

Perasaan emosi yang tadinya meluap, mendadak berganti senyuman. Saya pandangi bajaj yang dengan lucunya nyruntul menjauhi posisi saya.

Kesimpulannya. Terkadang sulit sekali menahan emosi di kehidupan sehari-hari. Terlebih ketika berhadapan dengan kejadian-kejadian sponton yang membahayakan diri, keluarga, dan aset kita.

Secara reflek, kita pengennya langsung muntap, menghardik, mencaci, dan misuh. Tapi, apakah itu bernilai positif? Kalau iya, apakah tidak ada yang lebih positif daripada sumpah serapah itu?

Saya teringat kata-kata Pak Iwan Wibowo, Direktur Multazam Utama tour & travel. Pria jebolan ITB yang pernah berkarir di Astra dan IBM ini pernah berbagi ilmu dengan saya.

"Mas Imam, ada dua tipe manusia dalam menghadapi masalah. Pertama reaktif. Yang kedua responsif," kata Pak Iwan.

Reaktif adalah langsung menyikapi masalah tanpa pikir panjang. Misal, tiba-tiba nyaris ditabrak bajaj, kita langsung mengumpat, menghardik, melaknat, bahkan memukul si tukang bajaj. Apa yang selanjutnya terjadi, pikir belakangan. Yang penting sikat dulu.

Sementara kalau responsif, sebelum mengambil tindakan, semua dipertimbangkan terlebih dahulu efek dan dampaknya. Setelah dipikir masak-masak, baru bicara, menulis, atau bertindak.

"Memang responsif seringnya butuh waktu lebih lama dalam menyikapi persoalan. Tapi sepanjang yang saya tahu, itu jauh lebih selamat daripada yang reaktif," imbuh Pak Iwan.

Nah, pasca insiden nyaris nabrak bajaj tadi, saya memutuskan untuk menjadi pribadi yang lebih responsif, bukan reaktif.

Pribadi yang selalu berpikir dan menimbang sebelum bicara, menulis, dan berbuat. Semoga saya berhasil.

Apakah Anda setuju dengan keputusan saya?

0 Response to "Tragedi Nyaris Nabrak Bajaj"

Post a Comment