Menulis

Menulis

Antara Bom Jakarta dan Perspective Taking


Sekira tiga jam sebelum bom meledak, saya lewat persis di depan pos polisi Sarinah, Jakpus. Andai saja saat itu terjadi ledakan, mungkin saya bisa kena imbasnya. Alhamdulillah, Allah masih memberi saya hidup dan menulis kisah ini.

Saat saya ngopi di depan Thamrin Residence, terdengar suara mirip halilintar. Duar, duar, duar..

Saya kira itu suara gluduk pertanda hujan. Saya lihat ke langit dan cuaca memang sedikit mendung. Lantaran tak tahu apa yang terjadi, saya santai saja sembari menyruput cairan gelap seharga Rp. 4.500.

Mendekati adzan dhuhur, saya baru kembali ke rumah di kawasan Cempaka Putih, Jakpus. Saat memilih lewat Bundaran HI agar lebih cepat. Eh, tak tahunya lalu lintas macet parah. Saya pikir mau ada Si Komo lewat. Ternyata, setelah sampai rumah, baru tahu kalau ada bom meledak di Sarinah.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Teroris beraksi lagi. Sekarang mereka lebih nekat. Tak hanya bom bunuh diri, tapi juga menggelar serangan terbuka (open combat)," kata saya bergumam.

Entah siapa pelakunya, yang pasti, menurut ilmu pendidikan, sejak kecil para pelaku gagal mengembangkan "Perspective Taking". Satu dari 7 Essential Life Skills ini seharusnya ditumbuhkan orangtua dan guru.

Perspective Taking adalah kemampuan otak dalam melihat dan memahami aneka perbedaan. Jika gagal dibangun, generasi yang lahir adalah mereka yang kolot dan maunya menang sendiri. Siapapun yang berbeda dianggap lawan. Wow, betapa bahayanya mereka.

Di era global dan keterbukaan seperti sekarang, kolot bukanlah pilihan. Yang harus dilakukan adalah memahami satu sama lain. Melihat sesuatu dari banyak sudut pandang (perspektif).

Kalau memang orang lain berbeda dengan kita, cari tahu apa sebabnya. Dari mana dia berasal? Bagaimana dia dibesarkan? Apa agamanya? Apa sektenya? Apa ideologinya? Budaya apa yang dianut? Siapa guru-gurunya? Buku apa saja yang dia baca? Bagaimana masa lalunya? Apa afiliasi politiknya? Dst.

Ada banyak hal yang harus kita ketahui sebelum "menjudge" orang lain. Apalagi dengan menyerang mereka secara membabi buta (naudzubillahi min dzalik).

Kemarin, Rabu (13/1), saya dapat kesempatan sejenak mendampingi anak-anak kelompok bermain (play group) Sekolah Alfalah, Cipayung, Jaktim. Pagi itu, saya sempatkan berbincang dengan empat anak play group yang asyik bermain playdough (sejenis malam, tapi terbuat dari tepung dicampur air).

Dua anak laki-laki mendadak terlibat argumen. Rupanya, salah satu anak ingin merebut playdough milik teman yang berdiri di depannya.

Melihat itu, saya coba memberi pijakan. Apa yang harus dilakukan jika kita ingin minta playdough dari teman?

Dengan cepat, anak perempuan berusia tiga tahun di samping saya menjawab, "Bicara kalau ada masalah."

MasyaAllah, kaget juga saya mendengar ucapan lentik itu. Lebih kaget lagi, dengan senyum tipis dia bilang, "Jangan kayak adik bayi. Mereka gak bisa bicara, he he he."

Luar biasa. Anak sekecil itu sudah tahu apa yang harus dilakukan jika berbeda pendapat atau keinginan. Jika kemampuan ini terus diperkuat hingga dewasa, insyaAllah tidak ada teroris di Indonesia, bahkan dunia.

Ingin tahu lebih dalam tentang Perspective Taking? Baca buku "7 Essential Life Skills" karya Ellen Galinsky. Buku ini jadi acuan bagi Sekolah Alfalah dalam membuat lesson plan (rencana pengajaran). Anda juga bisa membaca sedikit penjelasannya di kategori Edukasi.

Selamat membaca ✌ Salam damai untuk kita semua ❤

(share it if you agree with me ;) thank you)

0 Response to "Antara Bom Jakarta dan Perspective Taking"

Post a Comment