Menulis

Menulis

Plak, Plak, Dua Kali Ditampar Pak Guru

Guru suka mukul? Hmmm, ke laut aja keles! Tapi, zaman dulu, tak sedikit guru yang suka main tangan. Saya sendiri dua kali kena tampar guru. Pertama, saat kelas 6 SD. Kedua, di kelas satu SMP. Plak, tamparan "sayang" itu mendarat telak di pipi kiri. Jare arek Suroboyo, "Panas Cu*" :D qiqiqi...

Waktu pelajaran agama, saya bergurau dengan teman SD di kelas. Saat itu, guru sibuk mengoreksi lembar jawaban. Beberapa teman terlihat bergurau. Di antara mereka bahkan berlarian ke sana ke mari. Saya sendiri mondar-mandir kayak setrikaan. Mendadak, guru agama memanggil saya.

"Sini kamu. Kamu nglempar saya ya?" bentaknya.

Belum sempat saya jawab, tangan kasar Pak Guru sudah melayang ke pipi kiri saya. "Plak"... Hmmm, mantep nyo :D

Namanya juga anak kecil, saya langsung down. Hati saya remuk redam. Bibir saya tercekat. Beberapa detik kemudian, saya duduk manis, menutup mata, dan menangis :( huuuuuuu.... cengengggg

"Aku iki jane salah opo sih? Mosok mondar-mandir ning kelas langsung dikaplok. Perasaan aku gak nyawat," gumam saya dalam hati.

Teman-teman yang melihat saya ikut mungsret. Mereka duduk manis, ketakutan, diam seribu bahasa. Sementara guru agama melanjutkan aktivitasnya mengoreksi lembar jawaban.

Keesokan harinya, sebuah fakta terungkap. Ternyata yang melempar guru adalah Kusaini Koes, sahabat sebangku saya. Rupanya dia ingin bergurau dengan saya. Dia melempar saya dengan kapur, tapi justru mengarah ke Pak Guru.

"Sepurone Mam. Aku sing nyawat. Koen sih mondar-mandir gak jelas," kata Kusaini mengakui kesalahannya.

Ya, nasi sudah jadi bubur. Apa boleh buat, saya terlanjur kena tampar. Biarlah semua berlalu dan jadi kenangan ;)

Tamparan kedua terjadi sekira setahun kemudian. Saat pelajaran olahraga, dua teman sekelas saya mendadak lenyap. Entah ke mana mereka pergi.

"Siapa yang ambil bola kemarin? Bolanya tidak ada," bentak Pak Guru kepada beberapa siswa di dalam kelas.

Tak tahu apa yang terjadi, kami semua diam tak berkutik. Saya sendiri gak ngeh apa maksud Pak Guru.

"Ayo ngaku, siapa yang ambil bola. Kalau gak ada yang ngaku, semua harus keluar kelas," bentak Pak Guru.

Sejurus kemudian, para siswa sudah dibariskan di bawah pohon belakang kelas. Tanpa ba bi bu, Pak Guru melayangkan tangan kanannya. Plak, plak, plak, satu per satu siswa merasakan tamparan renyah itu. Kami semua hanya diam tertunduk lesu.

Terus apa manfaat tamparan bagi saya? Hmmm, apa ya?

Menurut Dr. Pamela C Phelps Ph.D, tamparan adalah wujud agresi fisik. Itu adalah reaksi paling rendah atas sebuah persoalan. Reaksi berikutnya adalah agresi verbal atau amukan kata-kata. Bisa berupa umpatan, makian, bahkan laknatan.

"Sejak usia dini, anak harus belajar berkomunikasi. Salah satunya dengan memperkaya kosakata. Dengan kosakata yang melimpah, mereka terlatih menyelesaikan persoalan dengan bicara, bukan melalui agresi verbal, apalagi serangan fisik," papar Pamela di workshop pendidikan di Sekolah Alfalah, Cipayung, Jaktim, awal tahun 2016.

Salam plak, plak, plak :D

0 Response to "Plak, Plak, Dua Kali Ditampar Pak Guru"

Post a Comment